Selama ini hutan dikenal sebagai sumber daya alam penghasil nilai ekonomis kayu, sehingga, banyak perusahaan juga masyarakat terlibat dalam meluluhlantakkannya. Mereka tak sadar, kalau kayu itu hanya 5 persen dari potensi yang dimiliki hutan.
Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru
SUASANA di ruangan workshop Pengenalan Better Management Practises ‘’Membangun Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Adil, Bertanggung Jawab dan Berkelanjutan’’ yang ditaja Strengthening Integrity and Accountability Program II (SIAP II) memang tak semeriah aksi demonstrasi yang acap dilakukan oleh pressure group (kelompok penekan) dalam mengutuk aksi brutal upaya pengrusakan hutan.
Pembahasan yang dilakukan juga tak melulu mencari penyalahan terhadap sistem pengelolaan kawasan hutan dan sumber daya alam, tapi lebih kepada bagaimana membangun sebuah pemahaman baru terkait sebuah kebijakan yang hendak diimplementasikan sebagai kontrol terhadap kesalahan dan kelemahan di masa lalu.
Pembahasan yang dihadiri banyak pihak, mulai dari non gevernmental organization (NGO), instansi pemerintahan, pemerhati lingkungan dan media ini lebih banyak mengkaji aspek hukum lingkungan dan kehutanan yang demikian ketat dan jelimet lewat peraturan perundangan, peraturan pemerintah, implementasi dan peran sosial yang bisa dilakukan dalam menciptakan sistim yang pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
‘’Ya, targetnya adalah memberikan edukasi kepada publik tentang apa yang harusnya dilakukan dalam memanfaatkan potensi hutan dan sumber daya alam sehingga sesuai dengan koridor dan aturan yang berlaku,’’ ungkap Willem Pattinasarany, Coordinator for Better Management Practises di sela-sela acara.
Program ini ditujukan bukan untuk menghambat, melainkan mendukung pemanfaatan hutan sesuai dengan tujuan pembangunan dan pola-pola pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan dan prinsip lestasi dan bisa bertanggung jawab.
‘’Karenanya, ada tiga pilar yang ingin dibangun, yakni, pertama inisiatif-inisiatif yang baik, kedua menjalankan fungsi-fungsi pengawasan secara riil dan sesuai aturan dan hukum serta ketiga yakni bagaimana apa yang telah diatur lewat kebijakan-kebijakan dan tindakan hukum, bisa diterima oleh masyarakat sesuai dengan spirit civil society’’ imbuh Willem.
Diakui Willem, pasca kerusakan yang terjadi selama beberapa dasawarsa, tepatnya dimulai dari tahun 1980-an, dimana kerusakan hutan terjadi dengan laju degradasi mencapai 2 hingga 2,8 juta hektare, kemudian pada era 2000 mencapai 2 juta hektare, selanjutnya dalam beberapa tahun terakhir pertahan pada angka maksimum satu juta hektare, itu menunjukkan terjadi upaya-upaya perbaikan terhadap penataan dan pemanfaatan fungsi kawasan hutan. Namun, hal tersebut tidak serta merta memastikan tidak terjadi kerusakan yang lebih parah terhadap kawasan-kawasan hutan yang ada.
Bila dulu, aktivitas perambahan, pembukaan kawasan hutan tidak terlepas dari fakta-fakta proses perizinan dan usaha kehutanan, kini, pembukaan kawasan hutan juga melibatkan banyak sektor, seperti pertambangan, perkebunan dan banyak aspek lainnya yang juga tak jarang melibatkan unsur masyarakat.
Ketika kebijakan mengarahkan pembukaan satu juta hektare lahan untuk lahan perkebunan sawit serta mengejar potensi penerimaan negara dari pemberian izin-izin pertambangan, pembukaan kabupaten-kabupaten baru, tidak bisa hanya berlandaskan pada kepentingan itu semata. Harus ada pertimbangan-pertimbangan keseimbangan lingkungan yang menjadi acuan dan mendapat kesepakatan bersama dan itu dilaksanakan.
‘’Bisa dikatakan, saat ini, sektor-sektor lain sangat merasa berkepentingan dalam memanfaatkan potensi kawasan hutan, itu memang sesuatu yang tak bisa dihindari. Tapi, dengan peran yang lebih banyak dari masyarakat sipil, hendaknya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang bisa menyebabkan kerugian yang lebih besar terhadap praktik pemanfaatan sektor kehutanan,’’ jelasnya.
Ini juga bukan berarti permisif terhadap persoalan-persoalan dan pelanggaran hukum terkait kehutanan yang sudah terjadi. Karena, masyarakat juga bisa melakukan Judicial Review dan legal review terhadap kebijakan yang sudah dikeluarkan. Karena itulah, dalam konteks better management ini, tidak hanya sebatas memberi acuan, namun juga langkah-langkah pengawasan dan hukum yang bisa dilakukan terhadap sebuah keputusan yang sudah dikeluarkan.
‘’Misalnya, kebijakan menerbitkan izin perkebunan sawit di atas kawasan hutan yang tidak diperuntukkan, melakukan konversi. Tidak serta merta benar. Apalagi bila sampai ada pemutihan terhadap pelanggaran yang dilakukan. Tetap harus ada audit dan pengawasan mengapa sampai kebijakan tersebut muncul,’’ ingkap dia.
Contoh lain yang juga masih perlu mendapat perdebatan, juga disampaikan oleh Koordinator Transparency International Indonesia (TII), Raflis terkait rekomendasi para ahli dalam menetapkan fungsi-fungsi kawasan yang bahkan terkesan mengangkangi peraturan perundangan.
Raflis mencontohkan perihal dominannya sikap para ahli terkait pemanfaatan areal gambut untuk kepentingan industri HTI atau perkebunan. ‘’Dalam ketentuannya, jelas, gambut dengan kedalaman di atas 3 meter, tidak boleh dikelola. Tapi, pada kenyataannya, belajar dari kasus Pulau Padang atau Semenanjung Kampar, para ahli seakan mempunyai kekuatan melampaui ketentuan yang tidak membenarkan hal tersebut.
Pastinya, tidak semudah itu membuat keputusan tentang boleh atau tidaknya, dan tidak mungkin pertimbangan ilmiah dari beberapa orang ahli lantas bisa mementahkan peraturan perundangan yang berlaku,’’ jelas Raflis.
Dia melihat ada beberapa ruang yang lemah dan perlu diperbaiki. Karena, belum tentu juga semua hasil kajian ilmiah bisa dijadikan pembenaran terhadap sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh para pengambil kebijakan maupun stake holder.
Ini, dijelaskan Raflis bukan berarti pihaknya selalu beranggapan jelek setiap upaya pemanfaatan hasil hutan. ‘’Bukan-bukan persoalan itu. Kita malah berharap bisa membangun sebuah optimisme dari pemanfaatan potensi hutan yang bisa dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang dan tidak hanya sesaat saja,’’ ujar Raflis.
Pihaknya berharap kebijakan pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, tidak dilaksanakan tambal sulam. Hari ini tak baik, lantas di tutup dengan kebijakan lain. Faktanya, jelas dia, cukup konkrit. Salah satunya adalah, kebijakan yang gagal dalam memanfaatkan potensi hutan secara berkelanjutan.
Dengan hutan yang demikian luas, harusnya, itu bisa berjalan searah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang bergerak dalam sektor kehutanan tersebut. Tapi, pada kenyataannya, paska kerusakan hutan, tidak ada masyarakat tempatan yang sejahtera, malah menyisakan kemiskinan baik secara ekonomi maupun sosial.
‘’Misal soal payment environment service, selama ini kan masyarakat hanya dikenalkan bahwa potensi ekonomi hutan itu cuma tebang kayu, di luar itu, tak ada lagi yang bisa dilakukan dari fungsi hutan. Itu kan sebenarnya tidak benar. Banyak potensi yang dimiliki, tapi belum tergali optimal. Begitupun dalam hal sertifikasi sebagai komponen Sustainability Management. Penerapan Sistim Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), LAI, produksi lestari. Namanya memang bagus, tapi ada juga kadang karena ketidaktahuan masyarakat, minimnya informasi, akhirnya itu menjadi sebuah gambaran yang bagus-bagus saja terhadap praktik pemanfaatan hutan. Padahal, pada kenyataannya, setelah itu, tidak semuanya juga bisa dikatakan bagus dan baik.
Begitupun tentang tata ruang bertanggung jawab. ‘’Kita punya tatanan tata ruang yang sudah selama 12 tahun tak berganti-ganti. Sementara dalam kenyataannya, kondisi yang ada di lapangan sudah jauh berbeda. Pemerintah sendiri tidak punya regulasi yang pasti terhadap batasan-batasan pemanfaatan lahan dan kawasan hutan maksimal. Sehingga akhirnya, hutan-hutan yang ada hanya dikuasai oleh pihak-pihak tertentu saja dan itu pun belum tentu melibatkan masyarakat sebagai komponen yang juga mendukung terciptanya tatanan di seputar kawasan hutan,’’ imbuh Raflis.
Kini, dijelaskan Raflis, tidak mutlak menyelesaikan persoalan kehutanan hanya berupa aksi dadakan sebagai bentuk reaksi penyimpangan di lapangan. Kegiatan yang digalang oleh WWF, TII, Indonesia Working Group on Forest Finance serta USAID ini diharapkan bisa memberi sentuhan-sentuhan terhadap pola kebijakan maupun menggalang peran yang lebih sistematis dan terukur di tengah masyarakat dan ada solusi yang tegas.
Misalnya, untuk persoalan tata ruang, supaya tak dianggap tidak transparan dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, bisa saja dilakukan dengan membuka ruang publik dalam penetapannya, sehingga tak begitu saja ditetapkan, sehingga ketika berjalan bertentangan dengan private area yang sudah ada semenjak belum ditetapkannya tata ruang.
Disamping itu, juga perlu ada orang-orang yang berperan di wilayah tersbut memiliki integritas dalam bersikap. Selama ini, integritas person atau lembaga menjadi persoalan. Kalau personnya bagus, mudah-mudahan akan bagus. Tapi, kalau tak punya integritas, tentu hasilnya juga tak bagus. Bahkan, bila tak punya integritas, dia malah akan mencari celah untuk mencari kelemahan-kelemahan dan peluang untuk memperjuangkan apa yang menjadi tujuannya.
Hutan Lestari Itu Mahal
Dalam workshop yang dihadiri puluhan pegiat lingkungan itu, juga dibahas tentang sulitnya mengelola sumber daya alam, khususnya hutan dengan konsep lestari dan terpadu. Selain melibatkan banyak komponen sebagai pendukung terlaksananya partisipasi dan keterlibatan publik, juga memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit.
Salah satunya diungkapkan Joko Sarjito, pemateri dalam SIAP II yang mengupas perihal penerapan rehabilitasi lahan oleh salah satu perusahaan di Kalimantan dengan pola tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) yang harus mengeluarkan investasi besar untuk melakukan penanaman kembali.
‘’Mereka menginvetasikan tak kurang dari Rp7 juta per hektare per tahun untuk menanam kembali. Angka tersebut tentu bukan nilai yang kecil bila diukur dengan daur hidup tumbuhan dan nilai investasi yang bisa didapatkan kembali. Karenanya, tidak semua industri kehutanan sanggup melaksanakan pilihan seperti ini,’’ jelas Joko.
Penerapan pengelolaan hutan secara lestari seperti mempertahankan High Conservation Value Area (HCVA) juga menuntut banyak aspek yang tetap harus dipertahankan. Sehingga, tak sekedar ada, namun juga bisa menjamin keberlangsungan peran ekosistem yang ada di sekitarnya dan keberagaman hayati.
Fakta yang tak bisa dihindari, dijelaskan Joko, 40 persen dari ekonomi dunia dan 80 persen kebutuhan masyarakat miskin dunia disupport dari keberagaman hayati yang ada di sekitarnya. Bisa berupa dukungan untuk siklus energi, kualitas tanah, udara dan air, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan, pranata sosial, penstabil iklim, kesehatan masyarakat termasuk pencegahan terhadap penularan penyakit dan hama.
Begitu besarnya peran lingkungan sehingga mengharuskan manusia mengubah pemahaman mereka bahwa alam, termasuk hutan, tidak hanya sebatas berbicara tentang pohon kayu atau rotan. Lbih dari itu, hutan menjadi pnyangga hidup yang harus tetap terjaga.
Kewajiban menjaga HCVA bgi perusahaan, harusnya tidak lgi sekedar berorientasi menerapkan peraturan tentang penerapan sustainability industry agar bisa diterima di pasar internasional, namun harus berupa kesadaran kebijakan dalam upaya mempertahankan keberagaman ekosistem lingkungan sebagai bagian yang tetap harus terpelihara.
Hanya saja, diakui Joko, hal tersebut masih belum menjadi komponen utama yang menjadi alasan bagi pihak pelaku usaha sebagai pengelola kawasan untuk melaksanakan. Misalnya saja, walau setiap industri Hutan Tanaman Industri (HTI) ada keharusan untuk mempertahankan kawasan dengan HVC atau yang biasa disebut dengan kawasn lindung plasma nuftah, namun, hal tersebut tak jarang dipilih karena pertimbangan potensi ekonomi (kayu) yang rendah, bukan karena pertimbangan keberagaman dan kekayaan hayatinya.
Itu juga yang tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi dalam penerapan HCV di area perkebunan atau areal pertambangan.
‘’Karena, memang, lahan itu mahal. Bila terlalu luas dialokasikan untuk kawasan HCV, juga tak efektif,’’ jelas dia.
Karena itulah, peran dan inisiasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap aktivitas pengusahaan sumber daya alam menjadi penting untuk ke depannya.***