OLEH RIKI UTOMI

Membangun Iklim Kreatif (Sastra) di Meranti

Seni Budaya | Minggu, 29 November 2015 - 00:38 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Ada yang patut diberi tanggapan positif mengenai geliat aktivitas seni, khususnya sastra di Kabupaten Kepulauan Meranti. Geliat itu lambat-laun mulai tumbuh berkembang—meski tidak laju, namun tidak juga stagnan—cukup memberikan kontribusi yang memadai, minimal mengajak agar generasi muda (remaja dan para pemuda) mau “mencicipi” karya sastra.

“Mencicipi” inilah yang harus ada dalam diri generasi muda saat ini sebelum terjun ke dalam “menggauli” (meminjam istilah alm. Hasan Junus) sastra itu. Mengapa? Karena, sastra memiliki nilai humanisme dalam membentuk jiwa/karakter manusia. Dalam hal itulah, saya pribadi—meski secara tak langsung—turut larut dalam kancah ini di Selatpanjang, tempat di mana saya betugas. Sebab terlebih karena saya senang empat orang siswa saya mewakili sekolah untuk membacakan puisi dalam acara yang bertajuk “Meraja Kata, Kobarkan Semangat Juang Pahlawan” yang ditaja oleh Sanggar KEMAS (Komunitas Seni Muda Bernas) sempena memperingati hari pahlawan.

Acara yang berlangsung petang sabtu cerah 14 november di halaman rumah adat LAM (Lembaga Adat Melayu Riau) itu memberikan aura tersendiri, sehingga mampu menarik simpati para remaja dan pemuda Meranti yang terdiri atas para siswa SMP, SMA se-derajat dan beberapa perguruan tinggi di Meranti. Rasa antusias itu terpancar dari wajah mereka, baik yang tampil sebagai peserta maupun penonton. Satu-persatu maju dengan rasa percaya diri hingga sebuah puisi tuntas dibacakan. Selain itu, tampil pula para pegiat sastra lain sekaligus tamu seperti Abdullah dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Atan Lasak perwakilan PWI turut menghipnotis kaula muda petang itu, serta Berty Asmara sebagai motor penggerak acara sekaligus sanggar turut menunjukkan kebolehannya. Pembacaan mereka patut menjadi motivasi bagi generasi muda Meranti. Hal semacam ini tentu akan mengundang hasrat, minat, dan wawasan untuk mau berkarya sastra, minimal berhasrat untuk membacanya.

Dalam helat tersebut, saya sepakat atas kata sambutan dari perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Meranti yang mengatakan, “wadah seperti ini mengandung nilai positif. Bahwa remaja maupun pemuda harus mencintai seni sastra. Sekarang ini kita berkumpul tanpa bunyi-bunyian yang hiruk-pikuk, tetapi semarak lewat kata-kata.” Maka, kata-kata membuktikan mampu memiliki daya magis (baca: daya tarik; gugah) dalam menyuguhkan kreativitas. Dimana remaja kita pada dasarnya mudah tersuntik oleh bunyi-bunyian seperti musik, seperti halnya konser musik (apakah konser band atau festival dangdut) sekadar menyebutkan permisalan, begitu ambisius datang walaupun tanpa diundang. Mata mereka akan melotot sekaligus tahan berjam-jam menatap, hati mereka berdebar dengan degup yang kencang, lalu mengalirkan energi untuk berjingkrak-jingkrak (melompat-lompat) tak karuan dengan tangan keduanya diangkat ke atas atau juga yang agak norak menggoyangkan pinggul dan kepala seperti ular kobra menari dari tiupan seruling orang India.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook