Karya sastra sejatinya adalah deretan jawaban mengenai sebab akibat dan citra demonstratif. Karya sastra itu berpembawaan menggesa ke masa depan, walau lewat kepiawaian menari di atas kejadian atau fenomena masa lalu. Sastra menghadirkan berjenis dan berjenjang jawaban dalam model naratif, artikulatif, terkadang argumentatif dan demonstratif, namun tak jarang pula, hanya berkeliling dalam persoalan-persoalan sejarah yang berpembawaan cul de sac. Doa, walau dia bukan jenis pertanyaan, namun dia diharapkan berhenti dan khatam dalam bentuk jawaban Tuhan. Orang yang berdoa adalah seseorang yang menunggu jawaban. Doa adalah permintaan, permohonan, tetap ingin berujungkan jawaban. Demikian pula orang yang berusaha dengan giat, bekerja keras, adalah sekumpulan makhluk yang menunggu jawaban. Ratusan surat melayang dengan genre pertanyaan yang ragam, juga menunggu jawaban. Surat pembaca yang dilayangkan ke meja redaksi, juga minta diungkai dalam cernaan jawaban yang jelas, nyata dan singkat-padat.
Jalan tasawuf adalah satu jalan yang tak memerlukan jawaban ujar Dzauqi; Kami menulis beratus-ratus surat dan engkau tak menulis satu jawaban pun. Ini juga merupakan sebuah jawaban. Orang yang melaksanakan tradisi suluq, bukanlah serombongan orang yang meminta atau menunggu jawaban. Mereka hanya berkirim surat penanda bersahabat, berhubungan dan senantiasa menjaga atau merawat korespondensi. Mereka adalah sekumpulan orang yang meniti jalan arif (makrifat) yang bermuara menjadi seorang bijak (bukan alim @ ilmu). Lalu, apa yang dilakukan seorang bijak? Orang bijak adalah dia yang hari ini mengerjakan apa yang orang bodoh akan mengerjakannya tiga hari kemudian, ujar Abdullah Ibn Mubaraq. Apakah dia juga termasuk dalam kumpulan mereka yang menanti jawaban?
Sastra datang, kadang tidak dengan bertanya. Narasi-narasi yang hadir terkadang berpembawaan mendahului fenomena atau noemena. Dia mendahului jawaban. Sesuatu yang mendahulu, ketika dibaca hari ini, akan terkesan luncas, bingkas dan berlalu sebagai angin. Namun, beberapa decade ke depan ada persoalan datang, tau-tau jawaban itu telah terhidang di dalam sebuah karya sastra. Kenapa ini bisa terjadi? Sastra tidak didasarkan pada kekuatan proyeksi, tetapi pada kekuatan imajinasi. Jika dia berlandas pada proyeksi, dia seakan jelmaan teropong yang menengadah masa depan. Sastra adalah jalan menerawang yang bukan optis (sebagaimana teropong); dia lebih dibingkai oleh alam akustis atau alam bebunyian. Kecerdasan otak kanan yang penuh warna, penuh gambar, garis, mendorong seseorang untuk mencipta atau creat(ive) lewat bebunyian. Makanya, ada jangan membiasakan diri menonton televisi. Biasakanlah mendengar radio. Sebab, lewat pendengaran itu, dia akan menstimusi otak kanan yang kaya warna, kaya gambar, skets, garis dan bentuk, sehingga anda terdorong untuk meng-creat(ive), berimajinasi, melayang-layang mencipta, menggambar, memfigurasi bentuk dan warna, lalu membayangkan ketampanan dan kejelitaan pendengar lewat suara, cara duduk, cara menyapa, cara megang mike, gaya berbicara dan seterus.
Namun, semua itu akan hancur ketika anda menonton TV atau bioskop. Sebab, otak kanan kita langsung disuguh dengan gambar dan warna, tak diberi peluang untuk mengeksplorasi, menjelajah, mencerna dan meng-creat(ive). Sastra itu sendiri adalah media jalan tasawuf. Sebagian besar sufi (peniti jalan tasawuf) adalah penggoda agung dalam dunia puisi. Dialog-dialog tajam dan menukik menjulang untuk menyapa liyan (The Other), hadir sebagai capaian memikat dan tak menuntut jawaban. Puji-pujian, termasuk lantun barzanji dan marhaban adalah jalan seloka puitis yang tak memerlukan jawaban. Dia sudah menjadi makanan batin, makanan spiritual.
Kisah-kisah, elegi, tragedi atau pun komedia yang terjadi secara berulang-ulang di muka bumi adalah serangkaian jawaban yang bertabiat mendahului (advance); namun orang selalu ingin mengetahuinya ada apa di belakangnya? (beyond) atau di sebaliknya? Maka jadi aneh, satu sisi dia berpembawaan mendahului, namun kita dituntut untuk menyibak sesuatu yang di belakang (beyond) padahal dia ingin menjelaskan tentang kehadiran masa depan (future atau beyond). Satu sisi beyond itu adalah masa lampau (past time); namun pada ketika yang lain dia seakan berada di depan (future time). Inilah yang dimaksud dengan hal-ihwal. Dia bukan sesuatu (thing). Maka, jawaban atau neomena atau fenomena sekalipun bukanlah thing atau die Dingen (sesuatu) tetapi dia adalah hal-ihwal (der Sachen; zaken) atau sederet kisah yang mengandungi (menghamili) makna yang berlapis-lapis. Maka, kita berbuat apapun jangan mematok jawaban, tidak perlu memborong jawaban, mendesak untuk dijawab, atau malah membajak jawaban yang semestinya untuk orang lain, seakan jawaban itu untuk kita. Bahwa semua pertanyaan yang dilontarkan oleh manusia, di depan Tuhan tak lebih dari pertanyaan retoris; tak perlu dijawab secara kanak-kanak. Maka, hidupkan lah alam akustis untuk menggairahkan keceriaan otak kanan dalam memahami hidup yang cerdas-kreatif.***