Fungsinya apa? Ya untuk memudahkan lalu lintas dan gerak manusia di jalan raya yang demikian sesak dan padat. Artinya, jembatan layang diadakan di sebuah kota, demi melayani gerak ruang warga kota, baik pejalan kaki maupun pengendara motor dan mobil agar lebih selesa dan lancar. Namun, aneh bin ajaib, fasilitas asas yang dibangun di kota ini menjadi gambaran dari kebudayaan orang-orang kalah dan reaksioner. Lebih mengedepan pernak-pernik identitas budaya melalui ragam hias yang membelit batang tubuh dan penampang jembatan layang itu. Maka, berbalut ragam ukiran dan ragam hias, lambang provinsi dengan warna-warna tajam meriah di sebuah ruas persimpangan yang sempit.
Begitulah kenyataan fly over [jembatan layang] yang dihajatkan sebagai pelintasan cepat dan anti macet yang dibangun di ruas pertigaan Sudirman-Tambusai dan Sudirman-Harapanraya. Tersebab dia adalah tempat pelintasan, maka wilayah itu menuntut konsentrasi para pengendara dan pejalan kaki untuk menanam waspada dan kehati-hatian. Tidak boleh ada elemen yang memecah konsentrasi dan koordinasi mata. Terlebih lagi, bangunan ini diadakan, ditandai dengan sejumlah kehilangan bentangan hijau di jalur tengah yang amat lebat merimbun di suatu masa dulu.
Demi kehilangan ‘kawasan hijau’ inilah, maka dibubuhilah cogan pembangunan fly over ini dengan emblem “go green”, pembangunan fasilitas umum dengan kaidah-kaidah hijau dan bersebati dengan lingkungan. Jika demikian, maka pilihan satu-satunya adalah mengembalikan kenyataan hijau yang hilang itu dengan menanam tanaman rambat untuk membungkus dan menyelimuti tiang dan gagang jembatan layang. Tanaman ini selain berfungsi menjadi faktor pengawet terhadap massifikasi beton akibat hujan dan terpaan matahari, juga sekaligus sebagai instrumen penyerap oksidan dan emisi kenderaan yang begitu pekat di sepanjang garis Sudirman.
Kota ini dibangun hendaklah berlandaskan pada kaidah-kaidah kebenaran universal. Dia bukan ruang untuk segala eksperimen ragam hias dan motif etnik dan resam adat semata. Bahwa kota ini yang menyalin bentuk dan ragam infrastruktur kota-kota dunia, dia juga hendaklah menjunjung prinsip dan kaidah yang berlaku pada infrastruktur dunia itu sendiri. Lebih mengedepankan fungsi berbanding segi artistik lokal. Oleh karena dia terletak di ruang umum, maka dengan sendirinya bangunan ini menjadi bagian dari seni instalasi atau pun “street furniture”, yang lebih mengedepankan skala toleransi spatial. Bangunan ini hendaklah lebih mengutamakan unsur keselamatan pengguna jalan raya; bahan baja, alumunium lentur sebagai pagar pembatas, bukan malah digayutkan serangkaian ukiran dan ragam hias dengan motif dan detil yang kecil dan halus, tak termakan oleh sorot mata para pengendara dan pejalan kaki. Ornamen dan ragam hias seperti itu sejatinya dibuat pada bangunan tempat orang berkumpul, misalnya rumah adat, ruang auditorium, ruang bersama atau ruang tunggu sebuah terminal dan sebagainya. Kita yang hendak mempertontonkan rengkuhan modernitas itu, malah terkesan sebagai kanak-kanak yang baru mengenal cara ‘mewarnai’ di tingkat Taman Kanak-kanak. Maka, orang-orang luar pun mentertawai ruang-ruang kota sebagai ruang-ruang para badut. Kota ini diurus dengan selera dan prinsip-prinsip badut dan pelawak.
Belum lagi penggunaan warna-warna tajam yang mengganggu mata pengendara. Apatah lagi, dalam waktu dekan bakal dibangun dua unit lagi “fly over” di sepanjang perlintasan Arengka-Tambusai dan Arengka-Subrantas. Kecemasan para arsitek dan pengguna jalan raya adalah bakal terhimpun lagi pemaksaan warna-warna tajam baik untuk tiang, gelegar atau galang jembatan dengan segala ornamen yang menyakitkan mata. Sehingga dia menjadi semcam permainan anak-akan yang terlihat dari jauh dan mengganggu pandangan. Ada semacam gurawan warga yang ingin kotanya elok dan sedap dipandang; “Belajarlah dengan bangunan “Living World” yang berwarna redup, sedap dipandang”. Nampaknya, bangunan dan segala infrastruktur yang dibangun oleh koorporasi swasta dan multi-national coorporation, memang lebih berselra dalam tampakan warna. Bukan warna yang menyerbu, tidak pula dengan gaya bangunan yang swerba angkuh.
Begitu banyak bangunan yang terkesan angkuh di kota-kota dunia ketiga; artinya memperlihatkan sisi keangkuhan warga kota yang menjadi penghuni kota itu sendiri. Sebuah kota yang diisi oleh orang-orang yang merawat dan membesarkan ego, mementingkan kehendaknya sendiri, tanpa mau bertolak-angsur dan bertoleransi dengan dunai yang berada di luar dirinya.
Satu hal yang bila dilihat secara kritis, bahwa fenomena membangunan jembatan layang di kota-kota dunia ketiga, tak lebih dari respons struktural terhadap modernisasi kota-kota dunia. Menjadi kota modern, seakan harus memperbanyak jumlah bangunan vertikal, termasuk jalan layang yang bertipe dua atau tiga tingkat (double and triple decker). Padahal, sejatinya kota-kota dunia seperti Tokyo hari ini, malah sibuk menebang dan meruntuhkan jalan-jalan yang yang bertingkat-tingkat itu, dan menggantikannya menjadi persimpangan bidang datar (terestrial), yang lebih memberi ruang untuk bentangan taman hijau dan teduh bagi sebuah kota. Resiko dari bangunan jalan layang bertingkat itu sendiri amat besar dan banyak; gempa bumi, korosi, menggangu pandangan tembus ruang kota, mengganggu keseimbangan ekologis, pusat pembuangan sampah dan tempat berkerumunnya penyakit sosial dan penyakit masyarakat di bawah-bawah kolong jembatan itu. Menghentikan arus angin dan mengurangi resapan air bawah tanag di area perkotaan.
Apatah lagi zaman kini, semua orang berupaya menjadi orang pertama menemukan lokasi yang serba layak Instragram (sebuah jawaban atas kegilaan birahi selfie). Kehadiran jalan layang yang lebih mengutamakan kekuatan ornamen serba lokal dengan warna-warna tajam, seakan menghentikan segi fungsional sebuah jembatan yang sejatinya berfungsi memindahkan orang dan barang dari sisi ini ke sisi sana. Sebab, semua orang menjadi tergoda untuk mendalami pernak-pernik dan detail sebuah ornamen yang menggayut di bentang atau pagar dan tiang yang gagah itu. Sebuah jembatan yang hajat dasarnya untuk melancarkan arus lalu lintas, malah akan berbelok fungsi sebagai tempat perhentian orang ramai dan berkumpul dalam posisi serba menghambat arus kenderaan, demi memuasi kehendak dan hobby selfie yang menjadi trendi dunia kekinian. Hai entah lah...***