Menggelek Tobu adalah sebuah tradisi di Kabupaten Kampar. Tradisi ini menggambarkan suasana kegembiraan dan kemeriahan ketika bujang dan perawan menemukan jodohnya.
(RIAUPOS.CO) - PULAU Belimbing. Inilah salah satu dusun di Desa Kuok Kecamaan Kuok yang masih memiliki tradisi Menggelek Tobu. Tradisi ini sudah ada sejak lama. Ratusan tahun silam. Meski kondisi dan tata cara yang terjadi dalam Menggelek Tobu saat ini tidak sama dengan dulu, tapi paling tidak Menggelek Tobu masih ada. Alatnya juga masih ditemukan.
Manggelek Tobu ini merupakan tradisi menggiling tebu dengan menggunakan alat tradisional berbahan kayu yang disebut Gelek Tobu. Saat Menggelek Tobu dibutuhkan kekompakan banyak orang. Bisa tiga, lima, dan biasanya sampai 10 orang. Gilingan tebu yang besar ini terbuat dari sebatang kayu besar. Sangat besar dan panjang. Untuk menggilingnya, tidak mungkin bisa satu orang. Maka diperlukan banyak orang.
Kayu didorong bersama-sama hingga berputar dan tebu yang digelek atau digiling mengeluarkan airnya serta menampung di tempat yang telah disiapkan di bawahnya. Tradisi Menggelek Tobu, selain di Pulau Pelimbing juga ada di Pulau Jambu, dusun yang tidak jauh letaknya dari Dusun Pulau Belimbing, atau masih di Desa Kuok juga.
Muda-mudi melakukan tradisi Menggelek Tobu di Dusun Pulau Belimbing, Desa Kuok, Kecamatan Kuok, Kabupaten Kampar. (LAMAN KEMENPAREKRAF)
Mengapa tradisi Menggelek Tobu ini ada, karena dulunya Kuok ini sebagai tempat penghasil tebu yang besar. Banyak kebun dan banyak penggilingan. Seiring berjalanya waktu, tebu habis, tradisi Menggelek Tobu juga makin berkurang. Tidak banyak lagi masyarakat yang memiliki Gelek Tobu ini.
Gelek Tobu yang ada di Dusun Pulau Belimbing juga lebih banyak digunakan ketika ada acara besar atau tamu-tamu yang datang berwisata ke desa tersebut. Kisah tentang Menggelek Tobu sebagai saat yang tepat untuk mencari jodoh, itu hanya ketika dulu. Sekarang sudah tidak lagi.
Meski demikian, Datuk Majo Bosou Dusun Pulau Belimbing, mengatakan, sejarah tentang hadirnya Gelek Tobu dan segala kisah serta sejarahnya tidak boleh dilupakan. Termasuk tentang Kuok yang dulunya sebagai penghasil tebu terbanyak. Pelestarian dan pewarisan nilai-nilai dalam sejarah inilah yang harus terus diturunkan kepada generasi muda di sana.
‘’Dengan sejarah, kita tahu dari mana kita bermula. Anak-anak muda di sini harus tahu asal mula Gelek Tobu dan nilai-nilai sejarah atau budaya yang ada di dalamnya. Dulu, Menggelek Tobu ini jalan anak muda mencari jodoh. Saat mereka menggelek bersama, nanti akan saling pandang. Tangan mereka pelan-pelan bisa bersentuhan. Dari situlah benih-benih cinta tumbuh,’’ kata Datuk Majo.
Datuk Majo menjelaskan lebih lanjut, proses Menggelek Tobu bukan hanya ketika Menggelek Tobu itu saja, tapi panjang. Dimulai dari musim panen padi sampai Menggelek Tobu. Semua ada rentetan peristiwanya. Ada rangkaian acaranya. Nilai sejarah itu, diakuinya kini mulai pudar dan banyak anak-anak muda yang semakin hari semakin tidak tahu.
Meski begitu, Gelek Tobu yang ada sekarang harus tetap dirawat. Meski tidak setiap hari Menggelek Tobu, atau digunakan ketika ada acara, tapi itu sudah cukup membantu menyeberkan dan meninggalkan wraisan kepada anak-anak muda tentang Menggelek Tobu tersebut.
Sukirman tokoh muda, menjelaskan, setelah menuai biasanya diadakan Menggelek Tobu. Tradisi ini bersifat gotong royong atau saling membantu atau mambiok aghi. Mambiok Aghi itu dilakukan oleh masyarakat yang tebunya belum diambil. Saat dia hendak mengambil tebu atau panen tebu, dibantu oleh orang lain atau tetangganya. Mereka yang mengambil tebu ini memberi makan bersama.
Jika tebu sudah diambil, malamnya muda-mudi akan Menggelek Tobu. Ada juga siang. Tapi siang lebih kepada kegiatan mengambil dan mengupas tebu. Maka dilakukan pada malam hari sekaligus memasaknya sampai pagi.
Tebu yang sudah digelek disaring airnya dengan kain tipis oleh muda-mudi (kiri). Suasana Menggelek Tobu di Dusun Pulau Belimbing, Kuok, Kampar (kanan).. (LAMAN KEMENPAREKRAF)
“Muda mudi ini saling menolong saat Menggelek Tobu. Kalau rezeki muda mudi ini dapat jodoh. Pokoknya ajang mancaghi jodoh. Mau mancaghi jodoh, poilah Manggelek Tobu,’’ kata Sukirman.
Selain ada yang menggelek, ada juga yang menunggu tungku, membuang buih atau disebut dengan menunggu masak nisan atau pemanis. Masak nisan ini seperti gula, tapi bukan gula pasir. Guna pemanis nisan ini untuk membuat bahan-bahan kuliner atau kue. Contohnya membuat kue Konji, itu memakai nisan tebu. Membuat kue Gula Tarek juga memakai nisan. Banyak kuliner yang manis di daerah ini dari nisan. Ompiong juga disiram dengan air tebu hangat, manis juga.
Menggelek Tobu dilaksanakan saat hendak bulan puasa atau untuk menghadapi Idul Fitri karena pada saat ini waktunya membuat kue-kue. Kenapa membuat kue banyak, karena setelah Idul Fitri banyak yang bagholek. Ada yang bagholek biasa, ada yang bagholek godang. Kalau bagholek godang menyembelih kerbau.
Di dalam Menggelak Tobu, muda-muda yang mendapat jodoh akan bertunangan setahun dulu, tahun depan baru mereka menikah. Begitulah adat yang berlaku di desa ini. Proses sebelum dan sesudah Menggelek Tobu ini, kata Sukirman, memang panjang. Bukan hanya Menggelek Tobu seperti yang terlihat saja.
Kalau malam itu muda-mudi Menggelek Tebu, orang tua akan menjauh dan membuang cighik nisan. Orang tua hanya akan melihat anaknya dari jauh. Kalau ada yang dapat jodoh, nanti akan ditanya dulu setelah itu, apakah jodoh yang didapat itu sudah benar, cocok atau belum.
Selanjutnya, akan ditanyakan kepada keluarga perempuan. Jika si lelaki sudah serius, keluarga jauh akan menyuluh. Menyuluh adalah menengok-nengok tapi sudah masuk dalam keluarga perempuan. Kalau menyuluh ini diterima, nanti akan dibalas. Kalau memang keduanya suka sama suka, prosesi pernikahan selanjutmya akan terus dilakukan. Termasuk mengantar kampie sighioh dan tando. Jika tidak cocok, maka habis sampai di sini.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar