JEJAK

Adjim Arijadi : Bapak Teater Modern Kalsel

Seni Budaya | Minggu, 24 Januari 2016 - 10:33 WIB

Adjim Arijadi : Bapak Teater Modern Kalsel

ADJIM Arijadi (AA) lahir di Mali-Mali, Karang Intan, Banjar, Kalimantan Selatan, 7 Juli 1940. Ia adalah sastrawan dan budayawan Indonesia dan bergelar Datuk Mangku Adat Kesultanan Banjar. Ia juga menjabat sebagai sekretaris Lembaga Budaya Banjar. Adjim dikenal sebagai Bapak Teater Modern Kalsel.

Pendidikan formal yang pernah ditempuhnya SR, SGB, SGA dan Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) Yogyakarta. Ia mulai menulis puisi, cerpen, esai, naskah drama, dan naskah sinetron sejak 1966. Karya-karyanya dipublikasikan antara lain di SKH Duta Masyarakat Yogyakarta (pengasuh rubrik Duta Budaya), SKH Pelopor Yogyakarta, SKH Masa Kini Yogyakarta, SKH Suara Kalimantan Banjarmasin, SKH Banjarmasin Post, SKM Media Masyarakat, Majalah Bandarmasih Banjarmasin, dan SKH Radar Banjarmasin. Antologi puisinya yang sudah terbit antara lain Kapal Lautku (Banjarmasin, 2006).

Baca Juga :Memilih Jalan Terbatas

Pada tanggal 1 November 1967, ia dan kawan-kawannya mendirikan Kelompok Studi Seni Sanggar Budaya Banjarmasin. Selain menjadi ketua, ia juga menjadi penulis naskah drama, dan pelatih drama di Sanggar Budaya Banjarmasin. Sehubungan dengan prestasi, reputasi, dan dedikasinya yang luar biasa di bidang seni drama ini, maka pada tahun 1974, ia menerima hadiah seni bidang drama dari Gubernur Kalsel Soebardjo Soerjosaro. Naskah dramanya yang sudah dipentaskan di berbagai pangung pertunjukan selama kurun waktu 1963-2007. Naskah sinetron garapannya yang sudah ditayangkan di TVRI Banjarmasin dan TVRI Jakarta antara lain Lambung Mangkurat (6 episode), Junjung Buih (6 episode), dan Dokter Hayati (6 episode).

Periode 1963-1967 adalah masa bagi H Adjim Arijadi berjuang meletakkan dasar-dasar berkeseniannya. Hidup di Yogyakarta bukan semata untuk memperoleh ilmu dari Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), tetapi juga belajar hidup. Bergaul dengan sesama seniman: berkarya dan bekerja.

Di kota itu AA mulai menulis sastra lakon dan puisi. Saat itu, dia belum percaya diri sehingga menggunakan nama puteri pertamanya, Noor Arijani sebagai nama pena. Karya-karyanya dimuat di koran harian dan mingguan. Pembaca menyangka penulisnya seorang perempuan.

Naskah lakon yang ditulis AA antara lain Haram Manyarah, Alam yang Diputihkan, Bapak Purba, Alam Roh Kalimantan, Pangeran Banjar dan mengenalkan pahlawan Banjar lewat Haram Manyarah dan Demang Lehman. Dua lakon terakhir dipentaskan di seluruh provinsi di Jawa, Jakarta, Sulawesi dan tentu Kalsel.

AA juga mendirikan sanggar teater pertamanya, Sanggar Antasari. Bersama Himpunan Mahasiswa Akademi Kesenian Indonesia, dia sering melakukan wisata seni. Ketika hendak melakonkan karya Iwan Simatupang, Petang di Taman, di Cirebon (1964), AA diboikot seniman-seniman anti-Manikebu.

Saat itu, AA memang bergabung di Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) dan ikut barisan Manifes Kebudayaan yang digagas sejumlah sastrawan besar seperti HB Jassin, WS Rendra dan Taufik Ismail, untuk menentang komunisme.(Zulfaisal Putera, Redaktur Tamu BPost).

Sang budayawan yang mendapat gelar kesultanan Banjar Datu Mangku Adat itu wafat pada usia 75 tahun setelah dirawat secara intensif di ruang ICU lebih satu minggu, karena menderita penyakit komplikasi, diantaranya gula darahnya tinggi. Meninggalnya budayawan dan seniman Kalsel ini menyebar luas di media sosial, sehingga banyak pelayat yang memadati rumahnya di Jalan Cemara Raya Gang Angsana III No 36 RT 24, Banjarmasin. Dan menurut keluarganya, rencananya almarhum Adjim Arijadi yang biasa memberikan “papadah urang bahari” atau pesan orang bijak masa lalu itu akan disholatkan di Mesjid Darul Hikmah, Jalan Tanjung Perumnas Blok IV Banjarmasin, sesudah salat Dzuhur.(fed/berbagai sumber)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook