CATATAN TEATER RIAU

Kembalinya sang Primadona

Seni Budaya | Minggu, 23 September 2018 - 19:48 WIB

Kembalinya sang  Primadona
Salah satu adegan karya "Dilanggar Todak" karya Marhalim Zaini bersama Suku Teater Riau.

Bagi Al azhar, perkembangan teater kekinian, terutama di Riau, terbilang cukup menggembirakan. Masing-masing anak muda yang bertungkus lumus dalam seni itu. Mereka (seniman) tetap berpijak pada kearifan lokal dan dieksplorasinya sesuai kemajuan zaman. Hasilnya, secara pemanggungan karya yang dilahirkan lebih maksimal.

-----------------------------------------------------------
Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

(RIAUPOS.CO) - LAIN dulu, lain pula sekarang. Dulu, para seniman memanfaatkan pasilitas seadanya. Setiap sutradara, secara ’organik’ dipaksa untuk lebih kreatif menciptakan semua unsur pendukung pemanggungannya. Segala upaya mereka lakukan agar keinginan untuk mewujudkan konsep berbagai elemen menjadi kenyataan.

Tapi beberapa tahun belakangan ini, sesuai kemajuan teknologi cukup ampuh untuk memudahkan pengkarya mendapatkan semua elemen yang diinginkan. Selain akses informasi terbuka lebar, nyaris tanpa batas, juga pasilitas panggung yang semuanya tersedia. Bahkan gedung pertunjukan megah yang menelan biaya Rp150-an miliar pun ’tersergam’ dengan gagahnya di Kota Pekanbaru. Gedung teater tertutup dengan nama Anjung Seni Idrus Tintin itu menjadi magnet bagi seniman untuk menampilkan karya mereka di dalamnya.

Era Idrus Tintin, Bustamam Halimi, Tenas Effendi, Sudarno Mahyudin, Ibrahim Sattah, dan lainnya selesai sudah. Era selanjutnya diisi Al azhar, Dasry Almubari, Fakhrunnas MA Jabbar, Armawi KH, Azwan Razak, Taufik Ikram Jamil, dan sederetan nama lainnya. Kemudian dilanjutkan era Tyas AG, GP Ade Dharmawi, A Amesa Aryana, Musrial al Hajj, dan seterusnya.

Diakhir 1990-an, era perteateran Riau dilanjutkan Hang Kafrawi, Fedli Azis, Willy Fwi, Marhalim Zaini, Rina NE, Kunni Masrohanti, Dewi MN, dan beberapa nama lainnya. Para seniman ini masih terus berkarya bersama komunitas masing-masing. Di sela itu, generasi kekinian juga bergerak dan melahirkan nama-nama seperti M Paradison, Monda Gianes, Jefry al Malay, Seni Afriadi, Mimi Suryani, Muhammad Reza Akmal, Poppy Kurniawan (Pay), Ade Puraindra, dan puluhan nama lainnya yang terus menghasilkan karya-karyanya.

Mati dan Tumbuh

Sejak era 50-an hingga kini, tak sedikit komunitas yang lahir lalu mati. Kelompok baru pun lahir untuk menemui ajalnya beberapa tahun kemudian. Kondisi itu tentu biasa dalam perjalanan berkomunitas. Karena menyatukan perbedaan dalam satu tujuan perlu energi besar dan kesabaran. Apalagi saling memahami dan satu sama lain menuntut keikhlasan.

"Saat ini anak-anak muda cukup berenergi untuk terus mencari identitas kelokannya. Apalagi mereka sudah bisa memanfaatkan semua pasilitas, dalam hal ini, teknologi sebagai pendukung pemanggungan. Ya, saya tak bisa mengatakan, dulu atau sekarang lebih bernas. Setiap generasi punya kekurangan dan kelebihannya sendiri," ulas Al azhar panjang lebar.

Salah satu sutradara Riau, Willy Fwi mengatakan, membaca teater di Pekanbaru dan Riau 10 tahun belakangan bisa dikategorikan gagal regenerasi. Kategori teater kampus, teater pelajar maupun teater komunitas masih dilakoni kelompok itu ke itu saja.

Selain Teater Matan yang membelah diri menjadi Teater Jelaga dan kelahiran komunitas Suku Seni. Hanya bertambah dua kelompok teater dalam satu dasawarsa. Namun kondisi ini berbanding terbalik dengan kegiatan teater secara kuantitas, seperti kegiatan tahunan Ajang Teater Sumatera (ATS) yang ditaja Teater Selembayung, Parade Teater yang fasilitasi pemerintah daerah maupun pementasan teater yang dikelola secara independen berjalan semakin semarak dari tahun ke tahun, walaupun secara matematis biasanya kegagalan regenerasi akan diikuti degenerasi (penurunan kualitas).

Fenomena ini bisa jadi disebabkan tidak adanya kesadaran untuk menciptakan sel-sel baru dan ketidakefektifan penyebaran virus-virus teater oleh para aktivis teater setempat. Masing-masing dengan ego kelompoknya.

“Kita bisa berharap agar Dewan Kesenian Riau untuk memfasilitasi sebuah forum diskusi untuk dapat menganalisa situasi ini sekaligus menciptakan solusi-solusi agar keadaan ini bisa diperbaiki,” papar Willy yang juga pimpinan Riau Beraksi.

Sementara itu, pimpinan Suku Seni Riau Marhalim Zaini menjelaskan, kekuatan sekaligus potensi teater modern Riau adalah:

Penonton yang “bersih”: adalah penonton yang tidak terlalu rewel dengan selera tontonan, menonton tanpa beban (historis maupun estetis), bisa dikondisikan (dengan sedikit pemaksaan), mayoritas adalah pelajar dan mahasiswa (kaum intelektual) yang masih awam tentang teater, menonton lebih sebagai hiburan atau tugas sekolah/kuliah, atau ajang ekpresi atau apresiasi.

Teater yang “bersih”adalah teater yang (seolah) hampir tidak memiliki hubungan historis (secara langsung) dengan perkembangan teater modern Indonesia. Sejak awal pergerakan teater modern, hampir tak terdengar, dan tercatat dalam banyak literatur dan media massa, tentang pertunjukan teater dari kelompok-kelompok teater di Riau.

Pertanyaannya, apakah memang teater di Riau tidak “bergairah,” atau karena standar estetika yang berbeda, atau memang “tercecer” dalam catatan sejarah teater yang (saat itu) sentralistik. Namun, justru begitu, teater modern Riau kini seperti bergerak tanpa beban pula (sebagaimana penontonnya). Merasa tidak terlalu penting pula kini untuk bisa menyorong-nyorongkan muka supaya tercatat dalam sejarah teater modern Indonesia (meskipun memang belum ada secara spesifik penelitian tentang itu). Teater modern Riau bisa berjalan dengan sejarahnya sendiri.

Maka teater modern Riau bergerak dengan “model” atau “gaya” yang berganti-ganti, mulai dari realisme sampai surealisme, mulai tradisi, klasik, sampai kontemporer. Tentu, model dan gaya itu boleh jadi pernah ada di Indonesia.Tapi teater Riau tak peduli. Mereka bebas karena bersih dari sejarah itu. Jika Teater di Indonesia, misalnya, telah “selesai” dengan capaian-capaian estetika tertentu, di Riau malah baru memulainya.

“Teater Riau seperti “berkiblat” dengan dirinya sendiri—entah oleh minim apresiasi, minim bacaan, minim referensi, atau karena memang “kebebasan” untuk tidak berkiblat pada apapun di luar dirinya,” katanya.

Riau punya kampus Akademi Kesenian Melayu Riau. Peran yang tampak selama ini, memang tidak menyuguhkan karya-karya “besar” selain dari karya-karya studi-pentas,melainkan cukup berhasil “melahirkan” para sarjana muda teater yang kini turut menggerakkan teater di sekolah-sekolah, kampus, kampung. Namun, sayangnya, AKMR hampir tumbang, dan Jurusan Teater malah dihilangkan karena alasan-alasan klasik.

“Ini bagi saya, adalah tragedi dalam dunia pendidikan seni kita di Riau,” ujar Marhalim.

Teater dengan tanpa beban sejarah teater modern Indonesia itu, di sisi lain, dapat pula menyebabkan teater Riau berjalan “mundur,” dengan “mengulang” bahkan mungkin “meniru” gaya dan model teater yang telah ada sebelumnya. Atau, bisa membuat teater Riau jalan di tempat.

Helat pembinaan teater, baik berupa festival maupun workshop, tidak intens diselenggarakan.

Sedangkan pimpinan Komunitas Teater Jelaga Monda Gianes mengakui benar-benar mengamati pertumbuhan dan perkembangan teater di Riau sekaligus berada di dalamnya sejak 2003.

Meskipun di 2002 sudah memulainya walau sebatas beban mata kuliah di AKMR. Di masa awal pengamatannya itu sampai pada saat sekarang, ada beberapa hal yang menurutnya dapat menjadi catatan penting teater di Riau bisa tetap eksis, khususnya di Pekanbaru, sebab ia lebih banyak berkutat di kota ini. Diantaranya; kampus-kampus yang memiliki UKM atau sanggar teater, ada UNRI (Batra), UIR (Lisendra Dua Terbilang), UIN SUSKA (Latah Tuah), Persada Bunda (Gapura), UMRI (Teater Kelas), dan lainnya.

Keberadaan kelompok teater di kampus-kampus itu menjadi motor penggerak kreativitas mahasiswa untuk berkarya di civitasnya yang kemudian juga keluar untuk berbaur dengan masyarakat dan seniman.

Kedua, Kelompok atau sanggar independen. Diantaranya Selembayung (Pekanbaru), Tasik (Bengkalis), Sempene (Inhu), Bulan Biru (Rohil), Matan (Pekanbaru), Biduk Bertuah (Dumai), Tahta (Siak), Rumah Sunting (Pekanbaru), Sanjayo Art (Kampar), Riau Beraksi (Pekanbaru), dan lainnya.

Keberadaan kampus seni Akademi Kesenian Melayu Riau. Dari kampus seni ini saja, lulusan jurusan teater yang menjadi tenaga pengajar di beberapa sekolah kemudian menerapkan dan mengembangkan ilmu dan keterampilannya kepada siswa. Sampai saat ini bahkan beberapa sanggar teater sekolah itu eksis dan berkembang, misalnya Sanggar Senja 5 (SMAN 5 Pekanbaru), Home Theatre (SMK Labor Pekanbaru), Pusaka (SMK 1 Pekanbaru).

Sebelum 2010, Dewan Kesenian Riau melalui Gelora Teater Se-Riau dengan gegap gempita menggairah kan perteateran di daerah ini. Aktor-aktor bermunculan, sutradara-sutradara lahir, penata-penata artistik ramai, dan seterusnya. Ajang ini sangat bergengsi dan dapat dijadikan tolok ukur melihat pencapaian karya dan kemampuan suatu kelompok.

Semarak ini juga sejalan dengan banyaknya program-program pembinaan dan festival oleh pemerintah daerah melalui Dinas terkait dan Taman Budaya.

Selain pembinaan SDM, sarana dan fasilitas juga sangat memadai. Anjung Seni Idrus Tintin misalnya, adalah satu diantara gedung pertunjukan yang representative. Kemudian ada Gedung Olah Seni dan Teater Arena di Taman Budaya Riau. Di Kabupaten ada Gedung Cik Puan (Bengkalis).

Riau memang patut dibanggakan, beberapa tokoh teater terkemuka di Indonesia dalam berbagai kesempatan dan kegiatan hadir kesini; WS Rendra, Nano Riantiarno, Putu Wijaya, Rahman Sabur, Dindon WS, Yudiaryani, Iman Soleh, Iswadi Pratama, dan banyak lagi.

“Saya, selama lebih kurang 15 tahun ini teater Riau berkembang baik. Pertumbuhan minat kaum remaja terhadap teater sudah tinggi. Pertunjukan teater sudah tidak sepi penonton, pemberlakuan tiket atau ongkos produksi sudah bisa dijual.

Belum lagi jaringan masing-masing kelompok dan komunitas yang sudah berani bergerak sendiri tanpa menunggu penjaringan melalui peluang-peluang yang kadang ada kadang tiada. Artinya, bicara teater maupun berteater di mana-mana tempat boleh dibilang tidak lagi dianggap asing,” tambah Monda.

Praktisi teater kampus, Muhammad Rezza Akmal menyebut, 2014 awal, dirinya mulai menggarap Teater Bangsawan dengan Judul Seulas Nangka yang dipentaskan pada Juni 2014. Dan sejak saat itu karya-karyanya terus lahir atas nama Sanggar Latah Tuah (UIN Suska).

“Saya kira teater secara umum di Riau mengalami kemajuan. Ia bak primadona yang bangkit dari tidur panjangnya,” kata Reza.***

Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook