SAJAK

Sajak-sajak Esha Tegar Putra

Seni Budaya | Minggu, 22 November 2015 - 01:17 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Surat untuk Rusli

Telah aku tabur garam ke dalam telaga itu, Rusli

sebab dengan itu aku tahu laut tidak akan menjadi

angin membikin riak bukanlah gelombang susut

kesia-siaan tidak akan menjadi pintu bagi maut.

Maka pada rumah-rumah dengan tiang tembaga

aku sangkutkan potret tentang ngarai dan lembah

kutulis sajak tentang dusun jauh dari kata curiga

aku baca terus sebelum tidur buat pengusir tulah.

Aku cintai gerak ombak itu

suara parkit pada pagi

gemerincing genta kuda adalah sihir penahan pergi.

Di udara laut itu pula dulu aku pernah merasa hilang

dalam lagu-lagu haru dan dalam sajak tiada terbilang

pada peningkahan lagu rantau akhirnya aku berpaling

kubiarkan kota seasam limau ini bikin tubuhku asing.

Tapi tidak dengan sajakku tidak dengan isi dadaku

tidak kuserah pada jalan nasib serupa benang kusut

bahasa yang sekian lama tumbuh daripeluh kudukku

telah kuhisap dan terperam dalam di pangkal perut.

Aku cintai gerak ombak itu

suara parkit pada pagi

gemerincing genta kuda adalah sihir penahan pergi.

Jakarta, 2015

Seperti Kancing Kemeja Putus

Seperti kancing kemeja putus

di Ciumbuleuit

angin dari gunung menembus pusarku

semalaman bersembunyi

dalam lambungku.

Pagar batu tinggi berjaga

kerakap menjalar

kerakap berjuntai

rumah-rumah kosong menghadap lembah

kesepian itu memang tipis dan dingin

sedingin ingatanmu akan lompatan pada trampolin

pada mainan kayu, kaleng roti dipukul batu, buku

gambar yang terus kau sobek sebelum dicoret.

Seperti kancing kemeja putus

di Ciumbuleuit

jarum jamberputar serasa memukul-mukul kepala

lantas kukatakan padamu:

“Pandanglah lampu merendah itu, anakku

dalam kabut. Jangkaulah

seperti kau jangkau puting susu bundamu

ketika kantuk berat melanda”

Kota ini seperti gadis usia belasan

tidur mendengkur

esok akan terbangun dengan muka sirah

lalu merasa ada sepiamerundungtiada tara.

Begitulah, berulang setiap hari

kota ini akan tidur mendengkur

dan bangun dalam suasana sama.

Kau terjaga, aku menjaga

terus kita pandangi lampu merendah

kabut serta udara tipis

seperti selimut malam terjuntai dari tempat tidur.

Dan angin dari gunung

terus menembus pusarku

dan masa lalu akan terus dikunyah pangkal gerahamku.

Jakarta, 2015









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook