Surat untuk Rusli
Telah aku tabur garam ke dalam telaga itu, Rusli
sebab dengan itu aku tahu laut tidak akan menjadi
angin membikin riak bukanlah gelombang susut
kesia-siaan tidak akan menjadi pintu bagi maut.
Maka pada rumah-rumah dengan tiang tembaga
aku sangkutkan potret tentang ngarai dan lembah
kutulis sajak tentang dusun jauh dari kata curiga
aku baca terus sebelum tidur buat pengusir tulah.
Aku cintai gerak ombak itu
suara parkit pada pagi
gemerincing genta kuda adalah sihir penahan pergi.
Di udara laut itu pula dulu aku pernah merasa hilang
dalam lagu-lagu haru dan dalam sajak tiada terbilang
pada peningkahan lagu rantau akhirnya aku berpaling
kubiarkan kota seasam limau ini bikin tubuhku asing.
Tapi tidak dengan sajakku tidak dengan isi dadaku
tidak kuserah pada jalan nasib serupa benang kusut
bahasa yang sekian lama tumbuh daripeluh kudukku
telah kuhisap dan terperam dalam di pangkal perut.
Aku cintai gerak ombak itu
suara parkit pada pagi
gemerincing genta kuda adalah sihir penahan pergi.
Jakarta, 2015
Seperti Kancing Kemeja Putus
Seperti kancing kemeja putus
di Ciumbuleuit
angin dari gunung menembus pusarku
semalaman bersembunyi
dalam lambungku.
Pagar batu tinggi berjaga
kerakap menjalar
kerakap berjuntai
rumah-rumah kosong menghadap lembah
kesepian itu memang tipis dan dingin
sedingin ingatanmu akan lompatan pada trampolin
pada mainan kayu, kaleng roti dipukul batu, buku
gambar yang terus kau sobek sebelum dicoret.
Seperti kancing kemeja putus
di Ciumbuleuit
jarum jamberputar serasa memukul-mukul kepala
lantas kukatakan padamu:
“Pandanglah lampu merendah itu, anakku
dalam kabut. Jangkaulah
seperti kau jangkau puting susu bundamu
ketika kantuk berat melanda”
Kota ini seperti gadis usia belasan
tidur mendengkur
esok akan terbangun dengan muka sirah
lalu merasa ada sepiamerundungtiada tara.
Begitulah, berulang setiap hari
kota ini akan tidur mendengkur
dan bangun dalam suasana sama.
Kau terjaga, aku menjaga
terus kita pandangi lampu merendah
kabut serta udara tipis
seperti selimut malam terjuntai dari tempat tidur.
Dan angin dari gunung
terus menembus pusarku
dan masa lalu akan terus dikunyah pangkal gerahamku.
Jakarta, 2015