SIGAI : DRH CHAIDIR

Risiko PHP

Seni Budaya | Senin, 21 Maret 2016 - 10:12 WIB

Risiko PHP

SATU kata beda makna. Itulah nasib yang menimpa Riau pekan lalu. Menteri Pendidikan Anies Baswedan didampingi Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab menyebut Riau sebagai provinsi literasi, Riau itu negeri sastra, begitu lebih kurang. Maka, Riau negeri pertama yang dikunjungi oleh pesohor itu dalam kampanye gerakan Indonesia membaca. Hebat bukan? Masyarakat Riau tentu saja senang dipuji Menteri dan Najwa, walau hal itu sesungguhnya laksana “echo”, sudah lama menggema pantul-memantul dalam gua waktu perjalanan panjang Melayu Riau.

Melayu Riau sejak dulu dikenal bukan tersebab agenda pedang, tapi oleh riuh kesusastraan. Riau adalah habitat bagi pantun, gurindam, syair, seloka, talibun, puisi, prosa, cerpen, dan roman sastra. Rahim Riau demikian subur melahirkan pujangga terbilang. Ada nama Raja Ali Haji yang terkenal dengan masterpeace-nya Gurindam Duabelas, Soeman Hs, Hasan Junus, Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza. Yang sekarang masih eksis ada Sang Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, sang fenomenal Rida K Liamsi, Taufik Ikram Jamil, Marhalim Zaini, Fakhrunnas MA Jabbar, dan lain-lain yang terlalu panjang daftarnya bila diurai satu per satu.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Riau disebut sebuah negeri di luar Pulau Jawa yang banyak menerbitkan buku. Dan tradisi penerbitan ini sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka, ketika Kesultanan Melayu Siak Sri Indrapura dan Kesultanan Melayu Daik Lingga aktif menerbitkan berbagai buku, baik di Pulau Penyengat maupun di Singapura. Oleh karena itu seorang wartawan senior Tempo, Amarzan Lubis, tak ragu menyebut  Riau sebagai Negeri Sohibul Kitab.

Budayawan dan penulis Melayu, UU Hamidy (1986) dalam bukunya Membaca Kehidupan Orang Melayu, menyebutkan harkat kemanusiaan dalam tradisi Melayu masih tetap condong kepada martabat yang tinggi, dalam arti hidup jujur dan mempunyai pribadi yang baik —seperti digariskan agama dan adatnya.

Namun seperti petir di siang bolong, masyarakat Melayu Riau terhenyak ketika Komandan Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru Marsekal Pertama TNI Henri Alfiandi menyebut bahwa yang membakar lahan di Riau itu adalah masyarakat Riau yang mayoritas masyarakat Melayu. Sang Marsekal (entah dari mana mendapatkan bahan yang akurat, komprehensif dan dapat dipertanggung jawabkan), dengan mudah memberi stereotype orang Melayu pembakar lahan.

Sebagaimana diberitakan berbagai media cetak dan online, Sang Marsekal juga mengecam tindakan sejumlah LSM lingkungan dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau yang menggugat pemerintah melalui ”Citizen Lawsuit.” Sebagaimana diberitakan, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau serta LAM Riau yang tergabung dalam Gerakan Riau Melawan Asap mengajukan gugatan Citizen Lawsuit ke Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Kamis lalu (10/3). Citizen Lawsuit adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab Penyelenggara Negara yang dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya.

Ada dua hal yang rasanya kurang pas dan kurang pantas. Pertama, terlalu gegabah memberikan stereotype kepada Melayu Riau (dan ini tentu sensitif); kedua, Citizen Lawsuit atau class action, tak boleh diintervensi oleh kekuasaan, itu hak rakyat. Citizen lawsuit itu tidak tiba-tiba, tapi ada dalil sebab-akibat. Sebab, kabut asap telah menjadi derita menahun yang ditanggungkan dari tahun ke tahun oleh masyarakat di Riau, sementara Penyelenggara Negara dari tahun ke tahun pula, selalu saja PHP (Pemberi Harapan Palsu). Jadi, itu risiko. Kalau takut dilamun ombak jangan berumah di tepi pantai.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook