SAJAK

Sajak-sajak Riki Utomi

Seni Budaya | Minggu, 20 Desember 2015 - 00:18 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Bele Kampung

malam jatuh tepat di dinding bibir.

begitu sengit, begitu duri hatinya.

lalu sepanjang dorak, hanya gamang

yang tercipta. menegakkan bulu kuduk,

keok burung malam, sketsa gentayangan.

sepanjang dorak, getar bibir mengalir.

luapan pujian pada semesta memecah.

bele kampung memuai bagai garam

di tiap jengkal tanah.

sepantun penggal tanah, dorak menjamah.

beruntun tanggal bersepah, laluan mencurah.

di ujungnya, bulan tenggelam ke laut.

bele kampung mengawang ke sudut-sudut,

ceruk-ceruk nafas, indap-indap mata.

seleksa dalam batin yang kian terbawa.

seucap sahaja, getar batinmu menggema.

dorak tak ubah cagar agar terkatup dalam bele.

selimutnya marwah, kelambunya doa yang

terbawa, terus terbawa agar hunian hamba

kian hening biasa.

(2015)

Tumu

kami berpuak. beranak-pinak memenuhi

batas gerak. sejauh jalan setapak bakau

menghela. siput dan makohe santapan

yang biasa.

cinta kami terpasung zaman. gemerlap lampu jalan.

makian harapan. lengking kapal-kapal berlabuh.

isapan-isapan lapar biskuit basi adalah tabungan

daripada tandus di tanah sendiri.

di tumu, hari menghilang. di tumu, marwah

begitu asing. tangan-tangan berubah arang.

hinggap dimana-mana. tak terkecuali kelamin kita.

doa hanya dapat singgah di pangkal telinga

lalu nista pada sebuah bungkus mi instan.

kami berpuak, hingga tak berjarak kaki

untuk menapak. seinci demi seinci tanah mengecil

dan nafas kian mahal di tanah ini.

(2015)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook