TEATER SELEMBAYUNG

"Padang Perburuan" dan Panggung Hening Taman Budaya

Seni Budaya | Minggu, 20 Januari 2019 - 20:29 WIB

"Padang Perburuan" dan Panggung Hening Taman Budaya
Salah satu adegan dalam karya Padang Perburuan di helat Silek Art Festival (Indonesiana) di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Sumbar, (20/12/2018).

(RIAUPOS.CO) - UNTUK keempat kalinya, Lembaga Teater Selembayung (Riau) kembali menyuguhkan karya “Padang Perburuan”. Jika sebelumnya, karya yang ditulis dan disutradarai Fedli Azis ini diarak keluar publik sendiri, maka pada Ahad (27/1) mendatang, tampil di hadapan publiknya sendiri, Kota Pekanbaru.

Sebelumnya, “Padang Perburuan” ini dibentang di perhelatan Pekan Teater Nasional (PTN), 10 Oktober 2018 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Lalu, dilanjutkan ke helat Gondang Oguang Art Festival, 27 Oktober 2018 di Lipatkain, Kampar. Dan helat Silek Art Festival (Indonesiana) di ISI Padangpanjang, Sumbar, 27 November 2018.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

“Untuk menghangatkan suasana dan langkah awal 2019, kami akan mementaskan karya ini di Gedung Olah Seni (GOS) Taman Budaya Riau (TBR) pekan depan. Selain itu, pementasan ini kami harapkan bisa membangkitkan lagi proses diskusi kreatif antar audiens dan pengkarya. Ya, semacam pertanggung jawaban karya dihadapan publik,” ulas Pimpinan Produksi “Padang Perburuan”, Rina NE pada sesi latihan, Sabtu (19/1) lalu.

Karya ini dipentaskan secara mandiri dengan mengutip tiket masuk sebesar Rp20.000. Sehingga seluruh biaya operasional, minimal sebagian dapat terpenuhi. Rina juga menuturkan, pihaknya merasa terbantu atas kerja sama dengan Dinas Kebudayaan Riau karena bersedia menggratiskan semua biaya penggunaan pasilitas negara tersebut. Palingtidak, kerja sama itu menjadi pintu masuk bagi seniman untuk menggelar karya mereka.

“Minimal kerja sama itu meringankan kami dalam pembiayaan. Apalagi, kami memang sengaja menggelar karya ini secara mandiri. Katakanlah begini, ‘Ada niat ada jalan. Ada jalan disegerakan’ melaksanakan tugasmu sebagai seniman,” ujar Rina berseloroh.

Sebagai ilustrasi, karya “Padang Perburuan” lahir dari banyak sekali inspirasi yang masuk di kepala sutradara. Misalnya, esai budayawan Riau UU Hamidy berjudul, “Riau, Nasibmu Kini sebagai Padang Perburuan”. Selain itu, dari hasil riset seni di kawasan XIII Koto Kampar setelah bergaul akrab bersama tokoh-tokoh adat dan masyarakatnya. Masih banyak inspirasi dari hasil bacaan, serta diskusi bersama berbagai pihak termasuk budayawan Riau seperti Al azhar dan Prof. Yusmar Yusuf tentang berbagai persoalan pelik yang membelit negeri berjuluk, Lancang Kuning ini.

Setelah memeras semua inspirasi tersebut, sutradara menggiring gagasan karyanya pada persoalan yang 27 tahun terakhir ini telah memporakporandakan tata kehidupan masyarakat di XIII Koto Kampar atas pembangunan waduk PLTA Koto Panjang. Dikatakan Fedli, “Hari ini kita selalu berujar, “Kami punya Ulu Kasok dan lainnya, pemandangannya sangat mirip dengan Raja Ampat”. Namun hanya sedikit saja masyarakat yang tahu, bahwa danau indah dengan jejeran pulau di bawah sana adalah luka dan duka bagi masyarakat XIII Koto Kampar dan duka terdalam sejarah negeri ini. Karena di dasar danau indah itu adalah situs sejarah. Disitulah kampung-kampung di tengah Pulau Sumatera garis khatulistiwa nan permai sengaja dibenamkan untuk sesuatu, yang menurut warga terdampak langsung pembangunan PLTA, tak memberi manfaat apa pun. Bahkan semakin menambah petaka bagi kehidupan dan penghidupan mereka selama ini.

“Sampel yang diangkat sutradara dalam berbagai perbincangan dengan kawan-kawan teater dari berbagai daerah terbilang seksi dan melahirkan rasa penasaran. Apalagi, sutradara membagi karyanya dengan narasi verbal dan narasi gerak (tubuh). Semoga saja audiens di Kota Pekanbaru berkenan menyaksikan Padang Perburuan di panggung hening taman budaya,” ucap sang pimpro yang juga seorang sutradara.(kun)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook