Liuk Liat Gerak Tari dan Silat

Seni Budaya | Minggu, 19 Januari 2020 - 10:50 WIB

Liuk Liat Gerak Tari dan Silat

Selalu ada makna yang dibaca dalam setiap gerak pada tari dan silat. Ada kekuatan untuk menangkis dan melawan. Perlu kosentrasi penuh. Perlu semangat untuk tumpuan yang hebat. Silat tradisi dan tari piring para lelaki ini, meliuk dengan liat dan lincah. Menjadi hiburan yang indah.

(RIAUPOS.CO) -- Sa'danur memang dikenal tokoh masyarakat serba bisa di kawasan Cipang Raya, tepatnya Desa Cipang Kanan, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rohul. Selain lihai memainkan talempong, ia sangat pakar bersilat. Kedua tangannya terlihat tegas dalam setiap gerak silat yang dibawakannya. Begitu juga langkah demi langkah kakinya. Kuda-kudanya kokoh, begitu juga saat dalam posisi tegak lurus baik dengan dua kaki atau satu kaki. Menghadapi lawan main, sangat berati-hati. Tidak sembarang mengeluarkan jurus. Penuh ancang-ancang. Begitu dirasa tepat, langsung menyerang.


Mengajarkan silat pada anak-anak muda, itu juga yang dilakukan Sa’danur dan beberapa tetua. Tak heran jika di desa ini, anak-anak remaja sudah mahir bersilat. Tidak hanya berfungsi sebagai sesuatu yang diiringi talempong atau sebaliknya, sebagai pengisi bunyi talempong, tapi silat ini dianggap penting karena sebagai olahraga bela diri.

Anak-anak kampung, sejak zaman nenek moyang, sudah diajarkan bela diri dan difahamkan dengan matang untuk apa bela diri tersebut. Bukan untuk kesombongan atau melakukan kekerasan, tapi untuk kebugaran, kesehatan dan untuk jaga-jaga jika ada sesuatu atau serangan dari pihak lain. Serangan yang dimaksud bukan hanya dari sesama manusia, tapi bisa juga dari hewan buas yang masih banyak ditemukan di hutan sekitar kawasan desa Cipang Raya.

Kehadiran pencak silat memang untuk bela diri, tapi salah satu fungsinya juga untuk hiburan atau kesenian sehingga silat juga banyak macamnya. Silat yang sering dimainkan dengan iringan gondang oguong atau talempong adalah silat hiburan. Biasanya dimainkan untuk penyambutan tamu besar yang datang ke kampung, untuk acara atau hajatan besar seperti pernikahan, sunat rosul, dan acara-acara adat lain seperti mandi balimau, niat tahun dan masih banyak lainnya. Hal yang lebih penting adalah, bagaimana silat menjadi warisan yang tetap dijaga oleh generasi berikutnya.

Silat selalu dimainkan secara berpasangan. Tidak pernah sendiri. Gerakannya juga dominan selalu sama antara satu pesilat dengan pesilat lainnya. Ini khusus untuk silat yag berfungsi sebagai seni atau silat penyambut tamu. Bisa juga dimainkan secara beramai, tapi juga tetap berpasangan. Artinya, banyak pasangan dalam silat tersebut. Cukup fleksibel karena bisa disesuaikan dengan keadaan dan keperluan.

Tak kalah hebatnya dengan Tari Piring. Salah satu kesenian tradisi yang masih terawat di kawasan Cipang Raya hingga kini adalah tari piring. Tarian ini bukan seperti tari piring biasa yang ditarikan oleh kaum perempuan dengan jumlah penari yang banyak. Di Cipang Raya, seperti di Desa Tibawan dam Cipang Kiri Hulu, tari piring dilakukan oleh kaum lelaki, sendiri atau berdua saja. Tidak banyak yang bisa melakukan tarian ini karena lebih sulit dibandingkan dengan tari piring biasa.

Nasrizal (47), warga Desa Tibawan adalah satu-satunya penari piring yang paling aktif. Diakuinya, tari piring ini memang jarang peminatnya. Berkali-kali ketua Yayasa PAUD Cahaya Mata dan TK Permata Bunda ini mengajarkan kepada anak-anak muda dan remaja, tapi tidak ada yang jadi. Ia sendiri bisa menari piring sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, atau sejak tahun 1986. Selain Isal –panggilan akrab Nasrizal-, ada kawannya yang lain. Perempuan. Tapi, tidak jadi penari dan tidak mau menari lagi.

Isal begitu mahir menari piring. Selain dua piring kecil di tangannya, juga banyak piring yang diletakkan di lantai. Piring di lantai inilah yang dijadikan alas untuk menari. Dipijak-pihak dengan menjijit, tanpa bunyi, retak apalagi pecah. Berputar, maju, mundur dan banyak gerakan lainnya yang ia kolaborasikan dengan lembut dan perlahan sehigga sangat menarik dan khidmat. Ditambah dengan bunyi musik dari dua cincin besi di tangannya yang diketukkan pada piring yang dipegangnya, semakin menegangkan. Gerakan-gerakan yang meliuk dengan liat ini mengandung makna bahwa, seperti hidup, menari juga perlu berhati-hati, teguh dan tidak asal bertindak agar gerakan tetap rapi dan tidak jatuh saat berdiri dengan sebelah kaki.

Tari piring tidak bisa dilihat dengan mudah, ada waktu tertentu bisa melihatnya. Misalnya saat ada pesta adat, menjamu tamu besar yang datang ke desa, acara nikah kawin, mandi balimau, manjalang mamak dan acara adat lainnya. Isal sangat bangga bisa menari piring, karena baginya, itulah yang bisa ia lakukan untuk melestarikan warisan nenek moyang yang ia pelajari selama ini.

Hampir sama dengan Desa Tibawan. Di desa Cipang Kiri Hulu, tari piring juga dilakukan oleh kaum lelaki. Juga dengan menggunakan cincin besi di salah satu jari kanan dan kiri yang menimbulkan bunyi musik perkusi saat dipukulkan ke piring yang dipegang. Hanya saja, tidak ada piring yang dipijak seperti di Tibawan. Banyak gerakan tambahan yang sudah dikombinasi dengan joget dan penuh senda gurau. Tari piring di Cipang Kiri Hulu lebih mengarah pada hiburan. Terkesan santai dan penuh kegembiraan.***

Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook