Supaya sama-sama sedap, saya memberi contoh kasus nasional. Apakah Setyo Novanto akan menghadapi Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dan berbagai teriakan tak sedap sehubungan Freeport, kalau sebelumnya ia tidak memperoleh kemenangan dengan meraih kursi di DPR sekaligus memimpinnya? Padahal, dapat dipastikan bahwa posisi tinggi tersebut sama sekali tidak merekomendasikan perbuatan yang diadukan itu kepadanya.
Soekarno akhirnya turun setelah semua kuasa berada di tangannya sekitar 20 tahun, hanya sekali melakukan pemilu (1955). Demikian juga Soeharto meliputi waktu 30 tahun. Dalam dua masa ini, setidak-tidaknya dapat terbaca bahwa bagaimanapun, mereka berkeinginan terus menjadi pemenang, sampai mengenyampingkan konstitusi, melumpuhkan hak demokrasi yang sama sekali tidak diinginkan oleh keberadaan sebuah negara.
Kita belum tahu bagaimana akhir pasangan-pasangan yang memenangi Pilkada serentak tahun ini. Tetapi dengan memperhatikan begitu banyak pejabat terjerat kasus hukum, sedikit-banyaknya telah memperlihatkan ketidaksiapan untuk menang merupakan penyakit pemenang pula yang mudah-mudahan tidak menjangkiti pemenang Pilkada serentak tahun ini.
Jadi, siap untuk menang dalam Pilkada adalah upaya baik pribadi maupun kelompok untuk melaksanakan amanat rakyat. Godaannya amat banyak dan dari berbagai sisi yang semuanya menyebabkan tantangan dari suatu kemenangan amatlah kabur, tidak tantangan bagi yang kalah. Kembali pepatah lama yang umum dikenal dapat ditarik untuk mengalasi kesimpulan ini bahwa semakin tinggi suatu pohon, semakin kuat pula diterpa angin.