KOLOM TAUFIK IKRAM JAMIL

Semoga Siap Menang

Seni Budaya | Minggu, 13 Desember 2015 - 10:25 WIB

Semoga Siap Menang
TAUFIK IKRAM JAMIL

PASTILAH dalam beberapa hari ini, bahkan dalam hitungan pekan-pekan mendatang, ihwal siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015, termasuk diikuti oleh sembilan kabupaten/kota di Riau, selalu tersangkut di bibir banyak orang. Akan selalu diingat orang frase, “Siap kalah, siap menang.” Jelas, maksudnya, dalam Pilkada yang baru lewat beberapa hari lalu, ada pasangan yang memperoleh suara terbanyak yang disebut sebagai pemenang, begitu pula sebaliknya.

Lalu, perkara siap menang senantiasa disetalikan dengan siap kalah. “Tetapi seruan siap kalah senantiasa dikedepankan, bukan siap menang. Pihak yang kalah misalnya, bisa saja tidak mengakui kekalahannya, sehingga tersulut kemarahan sampai melakukan tindakan kekerasan. Bukan mustahil kalau tindakan tersebut berdampak lebih jauh,” tulis kawan saya Abdul Wahab melalui pesan telepon genggam (SMS).

Baca Juga :Pastikan Pemenang Lelang Bekerja Sesuai Kontrak

Tentu saja, penerimaan terhadap kekalahan tersebut terlepas dari apakah dikalahkan secara ril atau melalui rekayasa pihak lawan. Secara ril karena memang sebagian besar rakyat tidak mau memilih sosok tertentu, malahan sebaliknya. Sedangkan kekalahan yang direkayasa adalah bagaimana suatu kelompok telah berbuat curang seperti membeli suara, memanipulasi suara, dan sejenis dengannya, sehingga memperoleh dukungan lebih besar.

Pastilah yang disebut siap kalah adalah menerima orang lain sebagai pemenang. Walaupun agak naïf, patutlah diarifi bahwa dalam suatu pertarungan, kesiapsediaan dikalahkan secara tidur jujur, menjadi bagian dari kemampuan menerima kekalahan itu sendiri. Suatu pernyataan yang amat disayangkan, tetapi begitu akrab terdengar di tengah masyarakat tentang kalimat yang berbunyi, “Sedang tak jujur saja sulit menang, apalagi jujur…”

Syahdan, jawab saya kepada Wahab, menjadi pihak yang kalah, sebenarnya menghadapi sesuatu yang jelas. Oleh karena itu, mengantisipasinya pun memiliki dasar-dasar yang terukur. Jalur hukum yang dilakukan secara tegas misalnya, merupakan senjata ampuh untuk menetralisir keadaan. Pada tingkat yang genting, kenetralan penegak hukum dan aparat keamanan, amat menentukan untuk “mengawal” kekalahan agar tidak menjadi ajang kontraproduktif berkepanjangan.

Tidak demikian halnya dengan siap untuk menang. Tanpa berpanjang-lebar, memadailah untuk disebutkan bahwa bukankah berbagai kasus yang menimpa petinggi daerah kita, diawali oleh kemenangan yang mereka peroleh sebelumnya? “Dengan kemenangan, mereka memperoleh kuasa yang dalam pemahaman tradisi saja menyebutkan bahwa kekuasaan mampu menggelincirkan seseorang ke tempat terburuk selain harta dan wanita. Ketiga unsur ini malahan menyatu sebagai dampak dari suatu kemenangan,” tulis saya lagi.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook