PERISA - YUSMAR YUSUF

Perjalanan: Untuk Apa?

Seni Budaya | Minggu, 15 April 2018 - 10:40 WIB

Perjalanan: Untuk Apa?

Kita yang tengah melakukan perjalanan di muka bumi ini, untuk apa? Untuk beribadah, itu jawaban idealnya. Jika jawaban setengah ideal? Ya, untuk merebut kekuasaan. Sebab dengan kekuasaan yang ada dalam genggamanlah kita bisa berbuat bajik dan beribadah.

Sebuah bangsa besar, sejak zaman Bismark, diperkenalkan tentang sistem jaminan sosial bagi rakyat Jerman (sekitar 1860). Jerman adalah bangsa yang memiliki tradisi berfikir yang dalam, radikal dan memucuk. Dari tanah ini terlahir, pemikir-pemikir besar dan filsuf yang mempengaruhi dunia. Di tanah Jerman ini pula lahir orang-orang yang merawat akal budi, lewat sentuhan dawai musik nan halus. Berapa banyak komposer besar dunia yang lahir dan berkarya di tanah ini. Para penyair besar, novelis besar dan pengarang besar juga terlahir di negeri ini. Ilmuan agung, penemu ulung, juga banyak lahir di tanah ini. Rakyatnya amatlah religius, sebagian besar adalah penganut protestan yang halus, lembut dan memenuhi gereja saban Ahad dalam narasi ibadah langit. Manusia Jerman adalah manusia yang memuliakan akal budi dan wisata pemikiran di garda depan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Namun, satu hal, negeri yang dihuni oleh para bijak bestari itu, negeri yang didodoi oleh nadi musik nan menghalus kalbu, negeri yang dihayun oleh syair-syair tinggi dan pengarang besar itu, filsuf dan ilmuan tonggak dunia itu, menjadi tanah seram, tanah hitam dengan serakan darah; hanya tersebab mereka-mereka yang berakal budi itu tak sanggup melawan dan berkata benar ketika berdepan dengan seorang kopral bernama Hitler. Negeri ini menjadi tanah hitam. Maka, di sinilah lemaknya kita berbicara tentang kekuasaan yang memihak; memihak kepada rakyat jelata. Bukan yang memihak kepada klan, berkompromi dengan nepotisme, berkaidah feodalisme dan primordialisme. Bahwa kekuasaan yang diambil melalui cara yang benar, kemudian ikut memberi sumbangan bagi kemajuan sebuah bangsa untuk naik ke level berikutnya, adalah cita-cita kolektif semua bangsa. Dan intu dilakukan oleh anak-anak Jerman untuk menyudahi era kelam seorang kopral yang menyemburkan darah sejarah nan hitam.

Lalu, bagaimana kita? Perjalanan hidup ini haruslah menuju pada kesempuranaan walau seminimal apapun bentuk dan wujudnya. Pemerintahan atau negara, atau kekuasaan yang digenggam memiliki “kekuatan memaksa”. Kekuatan inilah yang harus dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat kecil, rakyat jelata, bagi peningkatan taraf hidup dan menciptakan kehidupan yang berbahagia. Jika “kekuatan memaksa” itu hanya digunakan untuk kepentingan “menikmatik” kekuasaan, demi kenikmatan kaum keluarga, ini namanya para penikmat “zona aman” (comfort zone). Orang-orang yang menghuni zona ini adalah mereka yang mudah puas, malah disebut sebagai orang-orang yang “telah mati”. Kekuasaan itu hendaklah dipergunakan untuk kebajikan, berbuat bajik. Bukan malah untuk mengurus dan melayani kepentingan diri sendiri. Saat jerebu asap menyerbu sebuah kota, sebuah provinsi, alangkah naïf dan nistanya seorang kepala daerah apakah bupati, walikota atau gubernurnya berleha-leha anjang sana ke tanah jauh, dengan alasan menjemput investor, padahal tak lebih dari plesiran. Di sini, kepekaan sosial atau sensitivitas kolegial dan kolektifnya sama sekali hapus dan tak terbangun. Di sinilah awal dari kehancuran negara. Pemimpin hanya setakat menjadi penikmat kekuasaan. Sejatinya kekuasaan, digunakan untuk transformasi sebuah bangsa. Bukan untuk memperkaya diri dan kaum puaknya.

Lalu, untuk apa perjalanan nan jauh dilakukan? Jika perjalanan itu tak membawa faedah bagi kematangan diri dan pendewasaan batin atau visi spiritual pemimpin? Maulana Rumi berkata; Where should I go, when the journey is within my ego?”. Harfiahnya bermakna begini: “Ke mana aku mesti berlari, kalau perjalanan itu di dalam diri?”. Perjalanan yang jauh itu adalah perjalanan di dalam ego sendiri. Apa-apa yang ingin kita sunting lewat pendidikan sampai ke derjah yang paling tinggi sekalipun, tak lebih dari upaya memangkas ego. Selama ini, perjalanan yang kita lakukan dengan orang-orang lain, adalah perjalanan yang membesar dan meninggikan ego masing-masing. Kemudian ketinggian ego itu saling berantuk dan saling bentur. Peristiwa ini diulang terus-menerus dalam model reduplipasi tak berujung. Sekarang mari kita coba menguji kematangan diri dengan kehadiran para sahabat. Ada tiga prinsip untuk menguji sahabat mu selama perjalanan; dalam ihwal menjaga rahasia mu, dalam ihwal ketika dia marah menghadapi kesalahan mu, dan pada saat ia menemani perjalanan mu.

Lalu kenapa perjalanan sejati itu berlangsung di dalam diri? Karena sejauh-jauh perjalanan ujungnya adalah kisah tentang berbagi. Mampu atau tidak kita berbagi? Karena keakuan yang dibangun dalam perjalanan (termasuk perjanalan spiritual) akan menghalangi untuk berbagi. Kehidupan itu sendiri sejatinya adalah peristiwa berbagi, bukan monopoli. Ketika dia ditumpuk menjadi kekayaan yang menggunung, harta yang membukit, dia akan menjadi persoalan bagi si pemilik. Di sinilah penting cerita berbagi atau berbagi cerita. Alkisah, seorang teman yang baru membeli mobil Lamborgini, dengan fitur modern dan futuristic, harga selangit, lalu, parkir dalam garasi, digores oleh seorang anak kecil dengan “lukisan yang tulus” lewat sebongkah batu dari pangkal pintu depan, hingga bertemu garis itu kembali pada daun pintu yang sama, teman itu menjadi kesal. Tapi, dia tetap diam, berlaku bijak konon. Tapi, ketika mobil itu parkir di emper pertokoan, lalu tersenggol oleh pengendara sepeda motor, dan penyok, baru dia menyatakan geram dan kesal. Mobil yang begini mahal, teknologi canggih, diperlakukan oleh orang-orang kasar, membuat hatinya marah dan geram. Kenapa ini bisa terjadi? Karena dia menyimpan mobil itu tidak di dalam garasi. Namun, dia tetap bersikeras mengatakan, mobil itu diletakkannya memang di dalam garasi. Saya katakan, tidak di dalam garasi. Anda salah meletakkan mobil, sebab anda letak mobil itu di dalam hati. Sehingga sakit lah hati anda. Jika dia diletak di dalam garasi, namun tetap dicoreng, ditendang juga oleh orang lain, yang sakit tentu garasinya. Begitulah Jerman modern hari ini, dengan dada besar, mereka bisa berbagi dengan para migran  luka jiwa dari Suriah. Jauh sebelum ini, mereka juga pernah melakoni sejarah yang sama. Yang satu ini, mereka simpan di dalam hati.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook