WAJAH SEMBAI MAMBANG DEO-DEO

Ketika Muncul di Atas Panggung

Seni Budaya | Minggu, 14 Agustus 2022 - 10:07 WIB

Ketika Muncul di Atas Panggung
Tokoh Masyarakat Rohil asal Panipahan, Bakhtiar (memukul gong) dan para pemain Sembai Mambang Deo-Deo saat tampil di panggung Hari Puisi Indonesia di Bagansiapiapi, Senin (8/8/2022). (KUNNI MASROHANTI/RIAU POS)

Sesungguhnya ini ritual pengobatan bagi sakit yang tidak biasa. Belakangan, pengobatan dengan membumbungkan mantra-mantra ke atas langit hingga ke dasar tanah ini, naik ke atas panggung. Sakral itu tetap sakral.

Lancang kuneng seludang laot
Luan menuju ke tunggul jati
Luan benamo nago hili
Tongah benamo batil suaso
Bitan benamo  tudak mandi


(RIAUPOS.CO)   - INILAH lirik mantra bernama Memujo Lancang, salah satu dari lirik mantra pelanduk dan betiup yang ada dalam tradisi pengobatan Sembai Mambang Deo-Deo. Mantra ini dibawakan dengan nyanyian beriring musik tradisi, yakni gendang, gong dan pemukul lantai. Meski dinyanyikan dengan musik dan dibawa ke atas panggung, tak jarang perhelatan ini mengundang penonton jadi kerasukan, bahkan penonton yang jauh dari lokasi. Seperti yang dibawakan kelompok sembai asal Panipahan, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rohul belum lama ini di Bagansiapiapi.

Sembai pada aslinya adalah prosesi pengobatan penyakit puako badan atau penyakit yang timbul dari dalam diri. Masyarakat Palika khususnya Panipahan, sering melakukan pengobatan dengan cara ini. Selain menggunakan mantra, juga menggunakan perlengkapan khusus atau alat pendukung.

Datuk Bakhtiar, tokoh masyarakat asal Panipahan yang tinggal di Bagansiapiapi menyebutkan, setiap suku ada pengobatan dengan cara ini, khususnya di pesisir pantai. Selain Panipahan, di Kubu juga ada.

‘’Di pesisir selalu ada pengobatan dengan cara sembai ini. Kalau di Bagan ada yang seperti ini hanya adopsi dari penipahan. Asalnya tetap dari Penipahan,’’ kata Bakhtiar.

Disebutkan Bakhtiar, pengobatan adalah media, sama juga dengan usaha, sedangkan segala sesuatunya atau hasil usaha tersebut tetap dikembalikan kepada Allah. Apalagi dalam prosesi pengobatan ini juga menggunakan kalimat-kalimat zikir yang kemudian dihias dengan pantun. Sementara pantunnya harus beriringan atau disesuaikan dengan kondisi.

‘‘Ada dua proses yang harus dilalui dalam pengobatan ini, yaitu sungai dan darat. Artinya, pasien dibawa ke darat dan ke laut,’’ sambung Bakhtiar.

Prosesi dari awal sangat beruntun. Dimulai dari orang tua datang ke Bomo menyampaikan bahwa anaknya sakit. Dilanjutkan dengan  Bomo menengok kemungkinan nama penyakit pada anak dengan menggunakan media telor, ayam, limau. Langkah ini merupakan langkah mendeteksi penyakit tersebut. Setelah itu Bomo akan memyampaikan jenis penyakitnya.

Pengobatan dengan prosesi ini ada tingkatannya. Tingkat pertama menengok air sirih dilakukan pada sore hari. Sang anak  atau pasien diminta makam sirih yang di dalamnya ada pinang, gambir, kapur dan diikat dengan jumlah lembarnya ganjil. Setelah itu anak dibawa pulang. Sirih dimakan setiap sore selama tiga hari.

Kalau tak ada perkembangan, pasien diminta datang lagi, pengobatan ditingkatkan ke tingkatan kedua, yakni dengan nama totau atau menotau. Ini dilakukan pada siang hari. Pengobatan ini memakai media sangkak, yaitu darir kayu buluh atau batang mali-mali, di atas diletak tempurung, kayu arang ditambah ancak satu. Ancak terbuat dr daun pucuk kelapa. Ancak diisi dengan botih yaitu terbuat dari padi, digonseng ditambah telor ayam dan bunga-bunga sebagai media pengobatan.

Jika masih belum ada nampak perubahan, pengobatan ditingkatkan menjadi tingkat tiga. Namanya jejamu. Ini dilakukan pada malam hari. Pengobatan ini menggunakan media tertinggi yakni nasi pulut kuning, ayam jantan tiga warna dimasak gulai kering dan pisang barangan. Di atas pulut ada telor ayam. Tempatnya talam yang dihias dengan mayang. Mayang dibentuk-bentuk. Namamya amin.

Selain itu, ada buyung sebanyak tujuh buah. Buyung merupakan tempat untuk mengaimbil air yang terbuat dari tanah atau tembika. Kalau buyung tujuh buah, maka diisi oleh tujuh perempuan. Haus perempuan. Tidak boleh janda. Karena jika janda diyakini tidak akan menikah-nikah lagi. Hanya boleh ibu-ibu atau gadis.

Kalau pun gadis, susunan barisnya harus di belakang. Berurutan. Siapa yang didepan saat berangkat, pulangnya juga harus di depan. Tidak boleh salah. Air yang diambil dengan buyung adalah air parit. Buyung kemudian ditutup dengam daun keladi. Para perempuan ini disebut pengambek ae (air) buyung,.

Buyung kemudian dibariskan di dinding yang sudah dipasangi tabir warna warni. Kemudian dimasukkan batu-bati yaitu buah pinang, bilat kupas, paku, duit sen, mayang dua helai. Buyung juga dihias dengan amin di bagian mulutnya. Perempuan pengambek ae buyung  hanya mengambil saja sedangkan yang mengisi batu-bati ke dalamnya adalah Bomo. Di setiap buyung tadi ada satu lilin.

Kemudian ada ancak  yang terbuat dari daun kelapa. Bemtuknya segi empat diikat dengan rotan atau pelepah kelapa. Besanya sekitar 30 cm. Ancak diisi botih. Sedang botih berisi telor ayam mentah, bunga-bunga, kue-kue mentah dari bahan tepung tanpa dimasak. Kemudian diletakkan lilin herbal di tepi-tepi ancak di empat sudutnya. Sumbu lilin ini dibuat dari benang tiga warna. Sedangkan lilin dibuat dari saramg lebah oleh tuan rumah.

Kemudian ada limeh yang terbuat dari upih kering. Sama dengam ancak tapi diisi dengan telor masak, kalau ancak dengan telor mentah.

Selanjutnya ada mangkuk sabun dihias dengam amin dan peralatam tepung tawar. Mangkuk diletakkan di atas talam, sedangkan peralatan tepung tawar di sampingnya. Peralatan tersebut yakni, limau, pisau, lilin, tepung tawar, mayang dan batu-batu.

Selanjutnya ada Taman Gumbo yaitu pasu yang terbuat dari tembikar dihias amin, daun-daun, lalu diisi air. Kemudian ditanami janur yang sudah dihias dengan bentuk lipan, burung camar dan lain sebagainya.

Semua peralatan disusun rapi mengelilingi jejamu. Setelah isya, baru dilaksanakan pengobatan. Setemgah jam sebelum itu, Bomo memeriksa kelengkapan semua.  Sedangkan semua keluarga dikumpulkan. Bomo kemudian membaca-baca mantra atau mengupah-upah semua keluarga yang hadir.

‘’Begitu prosesi pengobatan ini selesai, semua keluarga makan dengan catatan dimakan sampai habis atau sesanggupnya. Keluarga yang makan tidak boleh mengajak orang lain.  Tapi kalau orang lain mau makan, boleh saja,’’ terang Datuk Bakhtiar.

Selama seluruh keluarga makan, lilin dihidipkan di tengah jejamu dan tak boleh tumbang. Kalau tumbang, makan harus berhenti. Selesai pengobatan malam itu, tetamgga membantu mengantar ancak arah ke darat bawah pokok kayu jauh dari rumah orang. Sedang limeh diantar ke sungai yang airnya mengalir.

Keesokan harinya, air di dalam buyung yang sudah dimantra-mantra, dimandikan kepada yang sakit dan keluarganya,pagi, siang dansore. Mandi harus dibuka pintu depan. Yangg sakit dan keluarganya duduk disiram oleh tetangga atau keluarga lain.

Jika setelah pengobatan ini pasien tidak  sembuh juga baru diobat dengan Ubek Bosa (pengobatan besar) atau Belancang tiga hari tiga malam. Media Belancang adalah alat musik gondang dan pukul lantai. Kalau ada tambah tetawak atau gong. Dibuat tiga malam.

Malam pertama seperti jejamu. Jejamu tidak ada menari lancang. Kalau Belancamg sudah ada menari lancang 3 kali. Malam kedua 5 kali menari lancng dan malam ketiga tujuh kali, bahkan bisa sampai pagi.

Persiapan Belancang bisa berbulan-bulan. Peralatanya sama seperti jejamu hanya saja limeh ditingkatkan menjadi lancang. Ancak ditingkatkan menjadi pancungseno segitiga dari kayu. Lancang dibuat dari kayu pulai dengan besar ukuran 1,5 meter. Isinya sama dengan limeh hanya, ditambah anak ayam hitam.

 

Bomo

Bomo pengobatan sembai ini ada lelaki, ada perempuan. Biasanya keturunan. Khusus di Panipahan ada sekitar 5 orang. Umurnya rata-rata 50 tahun  ke atas.

Malam pertama Belancang, bomo sebelum melakukan pengobatan, harus memasukkan mambang ke dalam tubuhnya. Namanya  beturun jin. Cara memasukkannya, pertama, dengan minyak wangi atau ombun yang dioleskan ke seluruh tubuh. Lalu pasang kemenyan dan bentang tikar anyaman yang dikasi bantal. Kemudian ia berguling-guling. Lalu menutup badannya dangan selendang atau kindang yang sudah ditetapapkan warnanya seauai dengan baju yang dipakainya. Ada ketentuan. Pakai ikat kepala atau tengkuluk.

Setelah itu tukang gondang memukul alat musik, yaitu gendang, tetawak dan pukul lantai. Jumlah semuanya 4 orang sama bomo. Ada satu penyanyi dan satu penghulu balai, yang bertanya kepada bomo siapakah dia yang menumpang di dalam tubuh bomo tersebut.

Pucuk paoh dalimo batu
Anak sembilang di tapak tangan
Walaupun jauh nogoi satu
Hilang di mato di hati jangan

Lidi keduo lidi
Tacak duo batang
Indak sangko sakali-kali
Malam iko menimang lancang

Mantra-mantra ini dinyanyikan oleh penyanyi saat pengobatan dan saat di panggung-panggung pertunjukan, tapi hanya musik dan lagunya saja.

‘’Mengapa kami bawa ke atas panggung, supaya masyarakat tahu ini kekayaan kearifan lokal kami. Dan ini sebagai upaya menjaga dan merawat supaya tidak hilang, karena semakin hari semakin berkurang,’ sambung Bakhtiar.

Adapun para penyanyi dan pemusik yang dibawa ke atas panggung tersebut, yakni Arif sebagai pemukul lantai, Bosu tukang gendang, Bakir MS tukang nyanyi, H bakhtiar tukang gong dan Syaiful Anwar sebagai Pengulu Balai. ***


Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook