Ini bulan yang setiap orang sedang sibuk “memborong” Tuhan. Dia menjadi bulan yang paling heboh. Ketika akan menjelang saja, bulan ini telah difestivalkan oleh beragam kaum puak di nusantara dengan cara yang tak terduga. Ada yang mengusung ide makan bersama, ada yang menceburkan diri ke dalam sungai, mengumpul air suci dari sebuah suak dengan cara disauk, membuat gunungan buah-buahan lalu diperebutkan, kenduri sana sini, lalu ada borongan lain; “saling minta maaf lahir dan bathin”. Lalu, yang hendak dan akan diucapkan pada saat Idul Fitri nanti jenis maaf yang mana pula? Kehebohan ini ditandai lagi dengan segala jenis pawai, karnaval bersuasana serba jelang (ramadhan). Hiruk pikuk memborong kegiatan “festival” memasuki ramadhan membuat kita lupa berinfaq dan memperhatikan anak-anak yatim dan fakir miskin.
Bahkan pemerintah sibuk pula mengemas orang-orang terjun ke air untuk menangkap itik dan memfestivalkannya sebagai event wisata (?). Hai hai wahai… kok dibelokkan jadi wisata. Ini perhelatan biasa-biasa saja jelang ramadhan. Tak perlu dikait-kaitkan dengan wisata. Peristiwa wisata ialah kerjaan sehari-hari dengan program-program yang tak perlu dikait-kaitkan dengan ihwal yang begini. Orang yang menceburkan diri ke sungai Gangga dan Indus saban tahun di India dengan maksud hendak mensucikan diri itu, tetap tak dipersepsikan sebagai festival air (water festival). Sejatinya dia merupakan peristiwa yang menggetarkan dalam elemen religius, dalam kaitan kesiapan makhluk yang hendak memasuki bulan sang penghulu bulan (ramadhan).
Lalu, ihwal infaq dan sedekah yang mestinya menjadi junjungan “ibadah” selama bulan ibadah ini, tentulah dia menjadi mahkota. Pada musim-musim ini, juru dakwah dicoba, dicabar untuk berinfaq. Tak cukup dia saja sibuk menganjur jamaah untuk selalu berinfaq dan bersedekah. Sejatinya dalam bulan ini disibukkan dengan “festival ibadah”, tapi malah dibelokkan menjadi bulan dengan “festival ceramah”. Para juru dakwah yang laris manis di bulan puasa ini, mari kita tantang untuk berinfaq dan sedekah. Dia yang harus memulai, bukan setakat menganjur dan jadi penganjur. Selama ini hanya menganjur dan menghimbau agar setiap insan jangan berlaku pelit, kedekut dan cekili hapak. Bila perlu setiap juru dakwah mulai memikirkan zakat profesi dari kegiatan berdakwah selama bulan ramadhan. Mari kita menjadi “pemborong Tuhan”, secara bersama-sama. Bukan hanya menjadi domain para ustadz, juru dakwah dan da’i semata, yang terkesan paling dekat dengan Tuhan, paling mengerti “maunya” Tuhan.
Dan, kanak-kanak jangan dipermalu di tengah khalayak jamaah, karena persoalan menjawab salam ustadz yang tak lengkap. Kanak-kanak harus dibuat “berbahagia” dan enjoy untuk menyunting segala kuntum langit. Mungkin mereka hanya seronok jika berkenalan dengan segala suntingan langit dan Tuhan itu dalam berjenis permainan, maka layan mereka bermain-main di laman masjid. Jangan mudah menjadi pendikte agung di depan kanak-kanak yang lemah, dhaif dan miskin ilmu agama itu. Bimbing mereka dalam kebiasaan-kebiasaan yang menggembirakan. Bukan mengacung pedang “kebenaran sepihak” oleh kaum dewasa, yang terkadang pula yang dewasa ini baru berkenalan dengan agama setelah besar. Hingga mendorong jadi penganut yang serba ekstrim dan tak kenal kasih.
Tuhan jangan diborong seorang diri. Dia juga memberi ruang untuk berbagi. Kanak-kanak juga sedang menyemai memori tentang tingkah dan polah di bulan puasa, yang akan dituai di masa depan (di hari tua). Sebab, kita yang tengah baya hari ini, sibuk membongkar memori dan segala tradisi berpuasa di masa kecil. Semua yang pahit, getir dan menyenangkan diumbar di depan cermin kaca media, tentang kebiasaan dan tradisi rumah tangga dalam menyambut puasa (berbuka, sahur, dan jelang berbuka). Sebab, bulan puasa (ramadhan) menyuguhkan kehidupan yang serba lain, berbanding sepuluh (atau 11) bulan lainnya. Bulan ini menghidangkan pola hidup yang “menyeberang” dari kebiasaan bulan-bulan sebelum dan sesudahnya. Selama bulan puasa, kita dibimbing untuk menahan dari segala “kemasukan” dan “keluaran”. Yang masuk dan yang keluar, haruslah yang serba baik-baik semata. Pada ketika meteran emosi manusia tengah datar begini (plateau), pada saat itulah semua orang merasa dekat dengan dekapan sang Pencipta.
Muhammad suci itu adalah rahmat. Bukan sekedar “membawa” rahmat. Kalau dia membawa rahmat, seakan terpisah dengan rahmat itu sendiri. Rahmat yang ada di dalam diri Muhammad suci, bukan untuk kaum beriman semata, bukan untuk manusia, tetapi untuk segenap isi alam; termasuk tetumbuhan, hewan, biota dan abiotic, gunung, angin, arus laut, karang, cacing dan tungau sekalipun. Tersebab rahmat ini bersifat imanen dengan diri Muhammad, dan tak bersifat fakultatif, dia bak semburan air yang menyerakkan kedamaian air universal bagi segala makhluk di sekitarnya. Makhluk-makhluk ini berdaya upaya untuk senantiasa dekat dengan pusat orbitnya bernama Tuhan. Daya-daya yang digunakan oleh segala makhluk ini disebut sebagai amal saleh. Sebagaimana bintang gemintang yang senantiasa menjaga jarak dan kedekatan sistemik dengan matahari sebagai pusat orbitnya, daya-daya yang digunakan oleh segenap bintang itu adalah amal saleh (ke orbit Zat Utama bernama Allah).
Bulan ini adalah bulan berbagi. Karena di sini juga zakat dianjurkan, tak sekedar infaq dan sedekah. Bulan berbagi itu, termasuk pula berbagi ilmu, berbagi waktu, berbagi energi dan daya agar senantiasa dekat dengan pusat orbit spiritual. Perilaku heboh dalam tradisi borong memborong ini, tak sadar kita lakukan; seperti menjalani festival kemenangan yang belum saatnya, malah kita membiarkan kanak-kanak sibuk dan mabuk bermain mercon dan kembang api di awal puasa. Sebelum puasa, kita pun sibuk berganti-ganti mendatangi rumah tetangga dan handai taulan sekedar mengisi perut 15 hari jelang ramadhan. Apa kita makhluk mamah biak? Kenapa gamang menjalani puasa? Dan kenapa mesti serba memborong? Menahan atau imsak, itulah kunci ibadah mahkota ini. ***