MELIHAT seseorang yang berpikir keras dapat diistilahkan dengan kepalanya berasap. Begitu juga kalau merasa ada sesuatu yang tak sehat pada suatu subjek, tetapi tidak dapat ditangkap oleh indera penglihatan, benda itu disebut “berasap”. Kebijakan yang tak jelas dapat dikaitkan dengan “hanya asap “ sampai “kelabu asap”.
Cuma bukan mempersoalkan berbagai macam tamsil dari asap yang kesemuanya mengarah pada saran pengertian negatif itu, maksud pesan pendek telepon genggam (SMS) Abdul Wahab kepada saya Sabtu pagi. Ia menulis kalimat pendek, “Asap Riau berasap sekarang ni.”
Betul juga, pikir saya dalam hati. Sepanjang yang dapat diamati, baru pada awal tahun ini, kemunculan asap diiringi dengan teriakan yang pedas antar sesama lembaga pemerintahan. Meski titik api belum sampai 50, Riau sudah menggolongkan dirinya sebagai daerah siaga darurat. Belasan orang langsung ditangkap. Beda betul dengan suasana tahun lalu saat daerah ini juga dilanda asap, misalnya bagaimana untuk menetapkan status darurat, perlu kondisi Riau sampai dipenuhi jerebu, bah....
Bagaimana tak bisa disebut bahwa asap Riau berasap dalam sepekan terakhir ini. Pertama sekali, simaklah pernyataan Pangdam Bukit Barisan (BB) Mayjen TNI Lodewyk Pusung saat berbicara dalam kaitan Karhutla Riau di Lanud Noermin Noerjadin, awal pekan ini. Ia mengatakan bahwa program sosialisasi mengatasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) Riau telah gagal. Padahal, sosialisasi yang dilaukan Pemprov Riau sudah dilakukan jauh-jauh hari. Secara khusus, Lodewyk menyesalkan Dinas Kehutanan Riau.
Plt Gubernur Riau Arsyadjualiandi Rachman, akrab dipanggil Andi, yang hadir dalam kesempatan serupa mengaku bahwa boleh jadi kesimpulan Lodewyk tidak salah. Nyatanya memang, belum sepekan hujan tidak mengguyur Riau, titik api sudah bertebaran di mana-mana. Bagaimanapun kenyataan ini tidak boleh dibiarkan walau sekejap, sehingga kerja keras untuk menanganinya harus dilakukan dengan segala daya upaya.