PERISA YUSMAR YUSUF

Bunyi, Musik, dan Déjà Vu

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 00:10 WIB

Pada  mulanya adalah bunyi. Ketika alam semesta dicipta, maka bebunyianlah yang jadi bingkai. Segala makhluk berbunyi sebagai cara mereka bertasbih, tarhim dan zikir. Belum ada kata-kata, menurut ukuran telinga manusia, kala itu. Bunyi, menjadi elemen dasar sebuah musik. Dan musik, adalah gerbang utama yang harus dilewati seluruh kebudayaan manusia. Lagu kebangsaan God Save The Queen, Kimigayo atau pun Indonesia Raya, jika hadir hanya dengan suara manusia tanpa dibingkai oleh bebunyian, dia terkesan tampil bugil dan ledah. Serangkaian ibadah juga dihiasi oleh bebunyian yang turun naik, bahkan berpusu-pusu; dalam ratib dan zikir; dalam kebaktian, nyanyian ruhani para penganut Budha di puncak Himalaya dan kaum Sikh di gunung menengah Amritsar. Musik, pada tingkat apapun, ternyata  menjadi medium ibadah bagi segala agama. Maka, yang membingkai sesuatu sehingga  dia jadi indah bak pemandangan hiasan dinding, tak lain adalah bunyi atau yang kemudian menjadi musik. Bunyi, menyedia elemen vibrasi, dalam bentuk frekuensi, amplitude dan durasi.

Dan bebunyian (jamak bunyi) itu terhidang di puncak gunung, di samudera, di teluk nan tenang, di hulu sungai dengan belantara nan lebat legam. Di musim hujan ada petir, guruh. Di jalan raya, knalpot kenderaan menyalak, gesekan roda atas rel kereta api, klakson para pengendaraan di persimpangan, terompet menyalak malam dan memecah pucuk pergantian tahun, demi nasionalisme bebunyian juga bergemuruh mengisi bangku-bangku stadion sebuah laga bola kaki. Di bulan ramadhan, bebunyian lebih semarak lagi, ketika perut dan nafsu manusia harus senyap. Segala bunyi, belum menjadi musik, sebelum mengalami transformasi secara neurologis dan interpretasi sehingga terbentuk bangunan pitch (nada harmoni), timbre (warna suara) dinamics (keras lembut) dan tempo (cepat-lambat). Tahap transformasi dari bunyi menjadi musik, disebut sebagai etape konstruksi pemikiran. Bahwa musik adalah hasil fikir, olah pikir dan batin manusia.


Kemudian oleh bangsa-bangsa “petutur” (dengan P besar) seperti bangsa Melayu, musik malah ditimpa lagi oleh serangkaian kekuatan tutur dan gerak. Seakan tak rela dengan kekuatan ‘tuturan’ yang dihasilkan oleh sebuah musik, maka kita kemudian menimpali lagi mahkota bunyi itu dengan serangkaian perbuatan merendahkan bunyi dan musikalitas. Bangsa “petutur”memang tak siap menghargai ruang-ruang ekspresi di luar tradisi "tuturan" mereka sendiri. Sebuah persembahan musik yang dihajatkan tampil groovy, teduh, sanggam dan berwibawa, malah direcoki oleh sejumlah gerak pembawa acara dengan kecenderungan sebagai pelawak, bergabung dengan busana pengantin etnikal, sehingga turunlah derajat musikalitas sebagai suatu bentuk ‘wahyu’ tentang kehadiran dan meng-"ada" di muka bumi ini. Musik dengan serangkaian majelis penampilannya, memang tak mendapat tempat di atas peterakna yang layak di muka bumi orang Melayu. Sudah jelas penampilan ini dihajat dan dilakukan oleh sebuah wilayah akademik, sejatinya dia hadir dengan pencerdasan akademis pula. Dia menjadi hippocampus atau pun meta campus demi memperkaya hippocampus otak kanan manusia. Ketika bunyi menjilat ke puncak, kata dan gerak harus senyap. Kata dan gerak harus belajar menahan diri. Sehingga bebunyian itu menghasilkan puisi bunyi, puisi musik.










Tuliskan Komentar anda dari account Facebook