OLEH RIKI UTOMI

Membaca Perempuan dalam Sunting

Seni Budaya | Minggu, 10 Januari 2016 - 00:25 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Tidak banyak perempuan yang  menulis karya sastra di negeri ini,  termasuk di Riau. Keberadaannya sangat jarang. Apakah dalam kategori cerpen, puisi, novel, atau naskah drama. Dari sedikit itu, tidak banyak yang bisa bertahan bahkan hilang keberadaannya dari geliat dunia sastra. Dalam konteks Riau, penulis/pengarang perempuan cukup memiliki andil dalam peta sastra Riau yang juga telah disinggung oleh pengulas lain. Sebut saja para pengarang senior seperti Tien Marni, Herlela Ningsih, DM Ningsih, Murparsaulian, Kunni Masrohanti, dan Budy Utamy. Lalu disusul yang lebih muda seperti Cikie Wahab, Alvi Puspita, Cahaya Buah Hati, Azizah Masdar, Zurnila Emhar Ch, Jeni Fitriasha, Desi Sommalia Gustina, dan Nafiah al Marab (sekadar menyebutkan nama). Mereka pengarang yang terus menguji diri dengan karya-karyanya di kancah persaingan media sastra tanah air.

Lalu, “membaca perempuan” menjadi penting bagi saya setelah menimbang dan menelisik secara saksama sebuah kumpulan puisi karya penyair perempuan Kunni Masrohanti. Penyair Riau ini merupakan salah seorang pengarang puisi perempuan yang produktif. Melalui kumpulan puisinya Sunting, Kunni menapak jati diri sebagai sosok perempuan yang tunak berkarya sastra khususnya puisi. Di satu sisi, profesinya sebagai jurnalis tak menyurutkan langkahnya sebagai penyair sebab puisi selalu terlahir dari “rahimnya” ke tengah-tengah kita.

Buku kumpulan puisi yang berkover khas perempuan: pink (merah muda), sudah terasa auranya mewakili diri penyair yang memang perempuan. Sekaligus kata “sunting” mengarah kepada denotasi makna lugas yang melekat pada jiwa perempuan: “suatu saat (aku) perempuan akan disunting untuk melepas masa lajangnya.” Setakat itu, kumpulan puisi ini menyuguhkan realitas hidup, khususnya yang dihadapi perempuan. Kunni dalam hal ini mengambil substansi tema yang luas. Ia tidak membatasi tema—semacam tema kegemaran yang ada pada penyair lain—dalam puisi-puisinya. Hal itu dilepaskannya dengan segala daya upaya sebagai bentuk proses kepenyairannya.

Maka, tema-tema itu terus berjalan, mengalir, tumbuh, dan berkembang luas sejalan pemikiran penyairnya. Tapi tetap kepada maksud titik tolak keperempuanan sebagai obyek yang ditujukan sang penyair. Beragam tema itu boleh jadi dapat ditelisik dari latar belakang penyairnya yang berprofesi sebagai jurnalis yang setiap waktu bergelut pada masalah riil di tengah-tengah masyarakat (realitas sosial). Tapi, bukankah itu menarik? Tentu saja selama sang penyair lihai memberikan nilai-nilai yang terkandung dalam puisi-puisinya.

Puisi berjudul “Purnama Merindu” tampak memiliki kesan romantik dan memikat. Olahan diksinya sederhana begitu pula temanya seperti tema remaja. Tapi penyair terlihat mampu memilih diksi yang tertib sehingga tidak terkesan mengada-ngada seperti remaja yang dilanda asmara. “Malam berwajah terang/ purnama berpagar bintang/ pungguk telah berdendang/ mata tak henti memandang/ engkau tak jua datang”//.

Perempuan dengan segala realitasnya akan tetap mengharap seseorang sebagai bentuk harapan dalam mengarungi hidup. Karier pada perempuan tak dapat dipungkiri telah menjadi bentuk persaingan yang tak dapat dielak sehingga ia (perempuan) akan menunjukkan eksistensinya. Namun kadang harapan tersebut harus diuji, “hati bimbang/ jiwaku semakin gersang/ malamku kerinduan”//. Namun penyair tidak lepas berharap. Sebagai sosok yang kuat, melewati si Aku Lirik, ia terus maju dengan mengatakan: “… angin bawalah aku terbang/ sampai diantara bintang-gemintang.”//









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook