LINGUA

Siapa Menaklukkan Siapa

Seni Budaya | Selasa, 09 April 2019 - 00:39 WIB

Siapa Menaklukkan Siapa
ILUSTRASI

Oleh Tatang Mahardika *)

BEGITU pesawat telah selesai lepas landas, Phiona Mutesi langsung memandang ke luar jendela. Dilihatnya gumpalan awan.

“Apakah itu yang dinamakan surga?” tanya dia kepada Robert Katende, pendeta yang mengajari dia bermain catur yang duduk di sebelahnya.
Baca Juga :Catat, Ini Tanggal Tayang Film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas"

Katende tersenyum. “Bukan, surga sedikit lebih tinggi lagi,” jawab sang pendeta dalam penggalan adegan film Queen of Katwe itu.

Itu penerbangan pertama Mutesi. Sebuah kemewahan yang tak terbayangkan bagi seorang gadis yang lahir dan besar di Katwe, kawasan kumuh terbesar di Uganda, sebuah negeri di Afrika Timur.

Karena itu, Katende memilih “bermain-main” dalam menjawab. Dia berhadapan dengan gadis berbakat yang baru memulai langkah di dunia catur. Jadi, “lebih tinggi lagi” selain mengafirmasi bahwa gumpalan awan itu bukan surga, sekaligus isyarat bahwa “di atas langit masih ada langit”.

Awan dan langit, sebagaimana bumi dengan segala isinya, adalah bagian dari semesta alam. Sumber berbagai kearifan, seperti disyaratkan Katende dalam nasihatnya kepada Mutesi.

Juga, semestinya, sahabat terbaik manusia. Ya, semestinya. Di situlah ironinya. Bagaimana kita bisa bersahabat kalau dalam persoalan berbahasa saja kesan yang kerap timbul justru alam adalah subordinat manusia.

Frasa-frasa seperti “menaklukkan gunung”, “mengalahkan ombak”, “menundukkan badai” atau berbagai variannya adalah bagian dari keseharian diksi kita. Baik secara verbal maupun tulisan.

Padahal, apa sebenarnya yang kita taklukkan? Gunung-gunung tak lantas berkurang seinci pun ketinggiannya hanya karena ada ribuan orang menjejakkan kaki di puncak-puncak mereka. Mereka telah ada di sana ribuan tahun dan akan tetap di sana selamanya. Sementara para “penakluk’ menua, sakit-sakitan, sebelum kemudian berakhir eksistensinya.

Dan, hanya dalam sekali letusan, segala yang ada di bawahnya bakal lenyap. Sebagaimana Titanic yang dibikin untuk kebal terhadap berbagai kemungkinan masalah tumbang di pelayaran pertama karena gumpalan es di bawah laut.

Yang barangkali tak kita sadari, beragam diksi yang merendahkan alam itu sedikit atau banyak bisa bermuara pada sikap apologi. Kita menjadi begitu permisif atau setidaknya tak ambil pusing terhadap perusakan alam. Yang dilakukan bukan hanya oleh negara atau korporasi, tapi juga individu.

Penelitian yang dilakukan oleh University of Georgia, misalnya, menunjukkan, Indonesia masuk 10 besar negara penyumbang sampah plastik di laut. Di daratan, data dari Kementerian Kehutanan memperlihatkan bagaimana luas hutan di tanah air menyusut 1,1 juta hektare per warsa.

Sedemikian parah, tapi pernahkah itu menjadi bagian dari perbincangan keseharian kita? Adakah persoalan itu dibahas dalam rangakaian debat calon presiden dan wakil presiden kita?

“Kesombongan” berbahasa, sedikit banyak, jadi bagian dari sikap umum yang menganggap laut dan hutan seolah hanya halaman belakang rumah. Yang setiap saat bisa kita taklukkan, bisa kita tundukkan.

Padahal, ada begitu banyak contoh bagaimana lewat bahasa penghormatan kepada alam bisa dilakukan. Henry David Thoreau dalam Walden, misalnya. Tinggal di dalam hutan sebagai bentuk perlawanan kepada industrialisasi yang membuatnya muak, sastrawan Amerika Serikat itu mengaitkan fase-fase spiritualnya dengan tanda-tanda alam.

Hutan, bagi Thoreau, “tempat bagiku untuk hidup bebas.” Kejumudan spiritualnya digambarkan lewat air danau yang membeku. Dan, pagi serta sinar matahari adalah “sebuah undangan menyenangkan untuk bisa menjalani hidup yang jauh dari kerakusan”.

Dari khazanah seni dan sastra tanah air, contoh penghormatan kepada alam lewat untaian lirik, puisi, dan narasi juga berlimpah. Mulai Chairil Anwar yang mengenalkan “Beta Pattiradjawane, hutan pala, serta api di pantai”; Ebiet G. Ade yang mengajak kita “bertanya kepada rumput yang bergoyang”; hingga Eka Kurniawan yang membuka Lelaki Harimau dengan “senja, ikan-ikan di kolam, aroma asin di laut, batang kelapa, bunyi falsetto laut, badai jinak, ganggang, dadap, dan semak lantana”.

Semua menempatkan alam dalam posisi terhormat. Dekat, tapi juga misterius. Sebuah kekuatan yang agung. Atau dalam kalimat lain: jelas bukan subordinat manusia.

Jadi, sudah sepatutnya kita “menggapai”, bukan “menaklukkan”, dalam kaitan dengan puncak gunung. Kita “melewati”, bukan “mengalahkan”, saat dihadapkan dengan ombak.

Diksi-diksi itu hanya langkah kecil untuk menghormati alam. Untuk mengerem ego. Siapa tahu dari sana kepedulian pada problem lingkungan yang lebih besar bakal muncul.

Toh, bukankah pada akhirnya kita akan kembali ke alam juga? “Di Karet, di Karet,” tulis Chairil Anwar, jauh sebelum dia dimakamkan di Pemakaman Karet Bivak.***

*) Wartawan Jawa Pos









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook