MEMANG tidak sederhana rupanya jawaban yang harus saya berikan untuk menjawab pertanyaan Abdul Wahab melalui pesan dari telepon genggam (SMS) sekali ini. Benci tidak lagi dilihat dari dampaknya yang tidak sesuai dengan konvensi umum, tetapi keadaan jiwa dalam situasi tertentu terhadap suatu subjek, bisa-bisa menjadi masalah berdasarkan tafsir dari pihak lain. Apalagi kalau pernyataan kebencian tersebut dinyatakan terus-terang dan tersebar melalui media yang saat ini begitu banyak jumlahnya.
Tentu saja, pertanyaan Wahab tersebut berkaitan dengan surat edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia beberapa hari lalu. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa penegak hukum agar tidak ragu-ragu lagi menindak penyebar kebencian sebagai pelaku tindak pidana. Matlamatnya, ujaran kebencian (hate speech), harus dihentikan.
Ujaran kebencian itu bisa berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong. Ini meliputi aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat), dan orientasi seksual. Medianya bisa dalam orasi kampanye, spanduk atau banner, media sosial, pendapat depan umum seperti demonstrasi, ceramah keagamaan, media cetak mapun elektronik, dan pamflet.
Kesan saya, orang-orang yang selama ini mengaku pembela humanis-universal menyambut baik surat edaran itu. Pasalnya, melalui media sosial, maki hamum terhadap suatu topik, bisa saja meluncur bagai air bah. Ini sejalan dengan perkembangan teknologi informasi di tengah liberalisme yang demikian subur walaupun Indonesia harus berpuas hati dengan posisi sebagai konsumen. Salah satu dampak demokrasi adalah terbukanya saluran informasi tanpa dapat dibatas-batasi.
Stasiun televisi melonjak sekitar 300 saluran dari hanya beberapa saluran pada awal Reformasi, bahkan pernah begitu lama hanya di bawah dominasi TVRI. Penggnaan internet begitu marak mencapai 60 juta pemakai, diiringi dengan keberadaan telepon genggam pintar yang melebihi jumlah penduduk yakni 270 juta pada 2014. Media dalam jaringan (online) tak terbendung, belum lagi situs-situs yang melanda negeri ini sekitar 4 juta. Jadi, apa pun keadaan, amat sulit tidak terjaring dalam arus informasi.
Kebencian itu sendiri dalam kitab Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di antaranya diwujudkan dengan pernyataan tidak suka terhadap sesuatu. Dengan kata dasar benci, kata ini disebutkan memiliki makna sangat tidak suka, misalnya melalui contoh kalimat, “Saya tidak suka/benci kepada penjilat”. Kata tersebut membentuk empat kata yakni membenci, membencikan, pembenci, dan kebencian itu sendiri.