PERISA - YUSMAR YUSUF

Tunggang Langgang

Seni Budaya | Minggu, 08 Juli 2018 - 12:17 WIB

Tunggang Langgang

SEBUAH  dunia yang bercelaru, berisi orang-orang yang tak sabar menanti masa depan. Mereka menukil masa depan dalam sejumlah kecerobohan, walau perilaku itu bisa dialamatkan sebagai “memintas” masa depan. Masa kini yang tengah kita jalani ini, bak sebuah tong yang kosong (gentong) yang harus diisi dengan sejumlah muatan kekinian. Setelah gentong itu terisi dengan kemas, rapi, penuh dengan segala pernak-pernik kebudayaan, maka inilah modal untuk menjalani fase selanjutnya, bernama masa depan (walau dalam bayangan). Karena, masa depan itu sendiri adalah sebuah kehadiran yang juga dilaksanakan dalam tabiat-tabiat kekinian. Derrida mengalamatkan kenyataan ini sebagai “dunia yang tunggang langgang” (runaway world). Sebuah dunia yang jauh dari tangkapan kita, melar dari jangkauan kita, masa depan yang dihentikan, masa depan yang dibengkokkan, berisi carut-marut yang tak menentu; dunia bak asbak rokok yang berisi puntung bersilang, bertumpuk, bertindih dan mendebu, sebak dan sesak.

Kita tengah berada dalam dunia yang tunggang langgang itu. Kita tak dapat lagi menyimak, menyibak, memilah dan memilih mana yang intan, mana gemala, mana buntat dan mana loyang. Semuanya tampil bak mustika. Dia dikemas dalam tampilan serba detik, serempak, dan menyerbu masuk ke ruang-ruang privat. Ihwal yang menyerbu itu bisa dalam bentuk informasi pendek, bisa dalam wacana “kawanan” (band), semisal WA Group, BBM Group dan sejenisnya (social media). Dia tampil bak tradisi literasi, padahal sejatinya dia tak lebih dari perpanjangan tradisi orality (lisan); tradisi ngoceh, tradisi bual dan ngomel lisan yang ditrans-mutasi seolah-olah literasi. Sebab, dalam keserempakan, segala orang bisa diterpa (exposure) oleh info-info sejenis, info beragam, baik info yang benar, dan tak sedikit pula gunungan informasi bohongan (hoax). Kita tengah berdepan dengan bangunan kebudayaan massal yang hormat pada kebingungan, hormat pada agenda massa, penetrasi massa, takjub dengan segala ihwal pembodohan. Artinya, dalam sebuah dunia yang tunggang langgang, masyarakatnya memang rentan untuk mengkonstruksi kebohongan yang diulang-ulang, yang lama kelamaan akan menjadi “kebenaran bersama” (kolektif). Maka, timbul pertanyaan berikutnya; apa jadinya sebuah kebudayaan  yang berdiri di atas fondasi kebohongan?

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Dunia yang tunggang langgang, tak memerlukan orang-orang berprestasi. Dunia jenis ini seolah-olah hanya melayani syahwat dan nafsu “revolusi”. Karena di dalamnya terkandung semangat memintas (turn back); tak sabar menjalani lebuh raya dengan seperangkat aturan demi keselamatan bersama, untuk sampai ke tujuan bersama dan tujuan yang sama. Revolusi dengan jalan memintas itu, selalu dibungkus oleh sejumlah dusta, kebohongan. Dari mana ini semua bermuasal? Dari sebuah “rumah” bernama kemiskinan. Rumah ini amat riuh dan bising oleh suara, berisik oleh bebunyian, tradisi lisan yang hanya melayani puncak nikmat dalam hal berkisah dan bercerita. Dalam masyarakat berkebudayaan tinggi, seseorang semakin terhormat, maka dia lebih banyak diam. Orang-orang yang banyak bicara, banyak bual, dalam kebudayaan ini selalu diletakkan pada “kasta” lebih rendah sedikit. Manajemen yang maju dan terukur itu, bukan dilihat dari banyaknya ucapan dan bual sang manajer. Manajemen yang maju, diatur oleh seperangkat kode etik dan aturan perilaku (rule of conduct). Di sini, semakin irit bicara, semakin terhormat. Maka, makhluk yang paling banyak bicara dalam dunia nyata tak lain adalah kanak-kanak dan kaum perempuan (uuppps.. maaf, agak bias gender sedikit).   

Maka, pada mentalitas dua kelompok inilah yang paling rentan atas segala info berpembawaan lisan dan kelisanan (terutama lelaki yang bermental ini). Sejatinya, kelisanan tak pula berjalan seiring dengan kemiskinan. Namun, kemiskinan selalu dibungkus oleh kelisanan. Kebudayaan tinggi itu, telah menitipkan dirinya, dan segala perkakas juga  rahasianya kepada tradisi literasi. Sudah lancung nitip pada tradisi literasi. Walau, di awal-awal peradaban, diperkatakan bahwa penemuan aksara, adalah sebuah skandal besar manusia demi menutup kebenaran. Namun, karena bawaan manusia itu selalu lupa, alpa, maka manusia menitip segala pesan, aturan, hukum dan cara berperilaku ke dalam huruf-hruuf, ke dalam aksara yang dijahit-jahit sehingga menjadi teks dan wacana. Dari sinilah bangunan kebenaran itu muncul dan menggergasi hingga kini. Lebih rancak lagi, peradaban literasi ini, mengenal “banking system” (atau filling system); segala dokumen dan arsip disimpan, sebagai catatan perjalanan sebuah peradaban dengan segala capaian-capaiannya. Kini, tahap penyimpanan itu sudah masuk pada era online (termasuk yang disediakan oleh “google drive”).

Namun, kini dan tersebab media online ini pula, tradisi kelisanan dan tradisi literasi itu bersua dalam sejumlah pertandingan. Kaum bawah dipermainkan oleh kaum elit dalam sejumlah info hoax dan gunungan ujaran kebencian. Bangunan ini terus memuncak dari hari ke hari. Dia menjadi sesuatu yang menggetarkan. Sebab, segala bentuk hoax itu (tradisi lisan) bisa didepositokan dalam “sistem penyimpan” seumpama “google drive” tadi, yang suatu ketika bila diperlukan, dia bisa diundang dan dihadirkan kembali, sesuai dengan keperluan dan kehendak sebuah zaman (di masa depan). Lalu, dunia yang tunggang langgang itu bermukim hangat di dalam “rumah kemiskinan”. Bahwa “kemiskian membuat orang meninggalkan kebenaran: kantong kosong sulit ditegakkan”, ujar tokoh Robinson, dalam novel mungil “Vendredi ou la Vie sauvage” dari Michel Tournier.   

Di dalam dunia yang tunggang langgang itu, kita seakan didorong menjadi makhluk yang berhutang kepada waktu, kepada masa, kepada detik. Kita membangun hutang ke atas waktu, karena kita ceroboh mengenderai waktu, tersebab kita mudah dihasung untuk melayani nafsu memintas, nafsu memotong jalan lurus dalam format zig zag (sebuah gerakan yang tak diperlukan dalam kondisi yang serba normal). Kita menjadi sekelompok orang yang membangun mental memotong, memintas jalan, tak hormat pada mental antrean. Lebih mengedepankan mental crowding (kerumunan). Kebudayaan, tak akan tinggi dan tak akan kreatif jika dilayani oleh sejumlah mental dan perilaku kerumuman. Dalam kerumunan, akal sehat tak berfungsi. Dalam kerumunan, amarah mudah

dipicu, meledak dan mengamuk, termasuk juga untuk berbohong. Tournier menambah satu lagi; “Jika dosa kedua itu adalah berbohong, maka yang pertama itu adalah berhutang, karena dusta disebabkan oleh hutang”.  Dalam dunia yang tunggang langgang, kita tak kan mampu mencicil hutang..***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook