OLEH RIKI UTOMI

Membaca Perempuan dalam Sunting

Seni Budaya | Minggu, 10 Januari 2016 - 00:25 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Berikut dalam puisi “Akulah Perempuan Itu” terkesan kuat menggambarkan ke-Aku-an sang penyair, melewati Aku Lirik, sebagai sosok perempuan yang tak bisa dianggap sebelah mata, aku lirik menunjukkan eksistensinya bahwa ia perempuan yang tidak lemah bahkan mampu menghadapi kenyataan demi kenyataan (baca: hambatan, rintangan, ujian) simaklah, “Akulah perempuan yang kau sebut/ akulah perempuan itu/ perempuan yang kini tersudut/ bertekuk lutut//. Perempuan yang digambarkan penyair tidak serta-merta kokoh atau langsung kuat. Ibarat tokoh Hero ia memiliki rangkaian kisah dalam perjuangannya mencapai puncak keberhasilan dan bukankah dalam konteks riil kehidupan kita juga demikian? Tak ada sesuatu yang didapatkan tanpa usaha kerja keras dan doa. Tak ada kemudahan tanpa kerumitan terlebih dahulu. Dalam hal ini, penyair menyelaraskan ke dalam puisi dengan mengulang-ulang diksi  “puisi” menjadikannya seperti senjata dalam membantu dari ketidakmampuannya itu, “hingga mataku mata puisi/ kataku kata puisi/ langkahku penuh puisi/ jiwaku bermandi puisi/ akulah puisi.”//

Berikut pada puisi “Petuah untuk Anak Gadis” lebih menyuguhkan nasihat kepada perempuan. Bahwa jadilah anak gadis (perempuan perawan) yang tahu diri agar dapat menjadi utuh sebagai perempuan dan mampu kelak menarik perhatian kaum lelaki. Lebih jauh penyair tidak sekadar berbicara hal remeh-temeh semacam itu, tetapi dapat mengarah kepada pentingnya pesan orang tua dalam mendidik anak perempuannya. Dalam realitas hidup, menjaga gadis lebih rumit daripada menjaga bujang. Anak gadis keberadaannya lebih sensitif ketimbang anak bujang, lalu penyair melantunkannya lewat larik, “apalah kau ni,/ macam mana nak belaki/ jangankan urus suami/ jaga diripun kau tak ahli//. Kemudian kesadaran akan nasihat itu berlanjut, “kata mak lagi,/ gadis yang cantik menjaga diri/ bersihkan badan bersihkan hati/ bersolek berbedak bertabur minyak wangi/ harum sepanjang hari/ gadis mana takkan iri hati saat memandang bunga kesturi/ lelaki apapun datang memuji.”//

Pada puisi berjudul “Tahu Apa Kau Tentang Perempuan” penyair seperti mengungkapkan nada pesimis sekaligus nada menantang kepada lelaki. Dapat diartikan sebagai luapan “ejekan” atau memang pertentangan. “tahu apa kau tentang perempuan/ bukankah kau hanya tahu maumu/ sampai dingin semua dari ujung rambut hingga ujung kuku/ masih tak puaskah kau setelah korupsi nafsu//.” Aku lirik seperti mempertanyakan: “jangan macam-macam pada perempuan sepetiku, kau belum banyak tahu pribadiku!” maka ia dengan lantang bertanya: “tahu apa kau tentang Aku!?” kali ini penyair cukup lantang berucap dalam puisinya. Ia melewati Aku Lirik tak ingin disia-siakan karena bukankah perempuan selalu ingin eksis di tengah gemuruh kaum lelaki? Lihatlah emansipasi mereka sekarang ini, perempuan banyak merambah dalam kancah persaingan dalam segala hal.

Terakhir puisi berjudul Sunting yang menjadi tajuk kumpulan puisi ini merupakan puisi yang sangat anggun dan berkarakter. Dalam perspektif tafsiran saya diksi “sunting” memiliki kata dasar sikap perempuan yang telah di”ikat” oleh suatu peraturan resmi pemerintah/agama atau adat/budaya untuk menjadi pendamping hidup bagi lelaki. Namun “sunting” dalam puisi ini seperti mengarah kepada kesan obyek benda yang dipakai oleh perempuan yang terletak di sanggul kepalanya yang menjadi tampak indah di pandang mata sekaligus melambangkan keperempuanannya. Atas dasar itu akan terpesona orang yang akan melihatnya. “hari itu benar-benar telah tiba/ tujuh tangkai sunting/ tak lebih tak jua kurang/ berwarna kuning emas/ kesaksian abadi tak bisa dinafi/ diri tak lagi bernyanyi/ milik tuan mana sebongkah hati ini.”//









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook