OLEH RIKI UTOMI

Membangun Iklim Kreatif (Sastra) di Meranti

Seni Budaya | Minggu, 29 November 2015 - 00:38 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Lalu di Selatpanjang, dengan Sanggar KEMAS-nya yang cukup memberi andil dalam memayungi generasi muda Meranti dalam kancah geliat seni, apakah musik, tari, drama, dan sastra. Sanggar yang dikomandoi Berty Asmara yang juga mantan cikgu bahasa Indonesia ini mampu menggerakkan minat anak-anak muda di Selatpanjang. Menurut hemat saya, tidak sedikit helat-helat atau aktivitas yang mereka gaungkan baik di lingkungan lokal maupun luar daerah. Mereka juga memiliki rutinitas dalam latihan-latihan yang memacu daya kreativitas sastra.

Di samping itu, di sebuah perguruan tinggi Akademi Managemen Informatika dan Komputer (AMIK) Selatpanjang juga membuncah sebuah sanggar bernama Tabir. Wadah kreatif yang memiliki haluan sastra ini cukup memberi pengaruh pada geliat kreativitas sastra di Selatpanjang. Dengan sang motor penggerak Afrizal Cik yang juga dikenal sebagai penulis cerita rakyat malayu Riau, mampu menyugesti kaum intelektual muda di kampus tersebut yang notabene teknik informatika untuk berkarya sastra. Afrizal Cik yang juga dosen serta anggota dewan di Meranti ini sejak muda tunak dalam menulis cerita rakyat (khususnya mengangkat khasanah cerita rakyat Meranti) dalam hemat saya juga menjadi kontribusi besar bagi geliat sastra di Meranti.

Dan saya sendiri (sekadar menambahkan; juga tidak bermaksud berlebihan) juga masih aktif—meski agak tersendat oleh faktor tempat tugas—dalam menggerakkan sebuah wadah menulis bernama Cahayapena yang bermarkas di MAN Selatpanjang. Para siswa yang memiliki basic agama yang kental itu cukup antusias dalam menyenangi sastra. Mereka juga mempunyai hasrat yang kuat untuk menghasilkan karya sastra, meski tidaklah sehebat para siswa yang ada di kota-kota seperti Pekanbaru yang memang para siswanya telah tertanam kreativitas itu. Namun jauhnya fasilitas buku-buku sastra yang menunjang sebagai sumber bacaan tidak menyurut semangat mereka dalam menikmati karya sastra, meski mulai bertolak dari bacaan sejenis teenlit (tentu yang sangat akrab dengan dunia mereka; remaja). Dalam hemat saya hal itu bukanlah sebuah pembacaan yang stagnan, sebab perlu ada penggugahan (menurut istilah saya sendiri) perlahan-lahan dari soal  bahan bacaan.

Dari uraian singkat di atas, hanya sekadar mencoba menyebutkan aktivitas-aktivitas sastra yang ada di kabupaten termuda di Riau ini sesuai dengan pengamatan saya. Mungkin masih ada yang tercecer dari pengamatan terbatas itu, dan saya hanya memposisikan dari geliat aktivitas sastra. Aktivitas ini (baca: sastra) bagaimanapun perlu menjadi perhatian kita bersama dan menjadi penting apabila kita turut ikut memberi dorongan kepada generasi muda kita di Riau, khususnya Meranti di tempat saya beranaung. Terakhir, kita setidaknya pernah mendengar bahwa Seno Gumira Ajidarma sang prosais itu berujar, “kita menulis dalam masyarakat yang tidak membaca.” Untuk itulah mari kita berbuat, menciptakan, membangun kreativitas kepada remaja dan pemuda kita agar bergelora dalam hal sastra. Semoga tulisan kecil dan sederhana ini dibaca oleh kita semua meski kita berada dalam kenyataan riil masyarakat yang tidak membaca. ***

Riki Utomi pegiat sastra dan peminat linguistik. Buku fiksinya Mata Empat dan Sebuah Wajah di Roti Panggang. Pernah aktif di FLP Riau. Mendapatkan penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DKI Jakarta. Kini tengah menyiapkan kumpulan esai Menuju ke Arus. Tinggal di Selatpanjang.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook