OLEH RIKI UTOMI

Membangun Iklim Kreatif (Sastra) di Meranti

Seni Budaya | Minggu, 29 November 2015 - 00:38 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Maka, apakah itu salah? Tidak. Namun bagaimanapun perlu ada penyekatan (baca: bukan pemaksaan) karena hal di atas (band dan festival dangdut) juga seni. Tapi dalam tulisan kecil ini, saya hanya ingin menyuguhkan setidaknya “angin segar” yang perlu kita kipaskan kepada generasi muda kita agar ada “pembaruan”. Sebab, kita pasti tahu bahwa tradisi literatur kita sampai hari ini masih sangat memprihatinkan dan sudah menjadi rahasia umum di negeri ini. Maka sastra bagaimanapun juga seni yang harus memiliki tempat spesial di mata generasi muda yang tengah ingin “mencicipi” itu. Tinggal bagaimana kita mengemasnya dengan sangat memikat, lalu menghadirkan ke tengah-tengah kancah geliat remaja dan pemuda kita dengan cara bersahabat, kemudian merangkul mereka dengan sikap bijak agar jinak mencintainya, karena kita perlu mengetahui seni sastra bukan seni yang instan (asal jadi), tetapi membutuhkan proses panjang dalam pergumulannya. Pengemasan itulah yang perlu jauh dipikirkan oleh para pelaku dan pegiatnya. Selain itu, menurut hemat saya, perlu adanya campur tangan pemerintah daerah melewati instansi terkait untuk memfasilitasi kreativitas ini. Adanya kerja sama yang positif seperti itu akan membangun iklim hangat bagi perkembangan sastra di Meranti, umumnya di Riau.

Sebagai guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia, saya cukup senang akan helat positif yang diadakan Sanggar KEMAS, tetapi sekaligus juga risau. Senang, tentu berpunca pada nilai positif yang berujung kepada daya gugah siswa untuk menaruh senang pada sastra. Sedangkan risau, dapat mengarah kepada hakikat pelajaran itu sendiri. Kita tahu bahwa sekolah dengan pelajaran bahasa Indonesia-nya tidaklah mampu seratus persen menyuguhkan sastra ke tengah siswa. Dengan alokasi waktu yang singkat yang lebih bermuara pada kajian teoritis untuk mengejar target kelulusan ujian, siswa belum cukup memiliki “gizi” akan hal sastra. Pelajaran bahasa Indonesia belum (atau tidak?) sepenuhnya menjamin siswa kita—khususnya di tempat saya Meranti—mampu berkarya sastra, kecuali memang segelintir dari mereka yang benar-benar suka dan menaruh minat besar. Maka disinilah setidaknya peran penting para pemerhati dan pegiat seni, khususnya guru bahasa Indonesia memiliki kreativitas untuk membangun iklim itu.

Tetapi saya tidaklah terlalu pesimis, sebab segelintir guru di Meranti ini telah bergerak, juga sadar untuk menciptakan kreativitas itu ke tengah-tengah generasi muda. Lihatlah Jasman Bandul dengan Komunitas Gemar Menulis-nya (KGM) yang didirikannya di pelosok desa, di Kecamatan Tasik Putri Puyu, Merbau. Komunitas ini (sesuai dengan pengamatan yang saya telisik) sedikit-banyak memberikan kontribusi kepada generasi muda setempat untuk mencintai sastra. Dengan rutinitas program yang mereka lakukan seperti membaca, menganalisis, menulis, mengapresiasi karya sastra apakah puisi, cerpen, novel, atau drama, bahkan sampai melatih para remaja membaca puisi menunjukkan optimism positif, dan yang cukup menarik, mereka selalu mendiskusikan karya-karya pengarang Riau. Komunitas ini juga telah merayakan Hari Puisi, dimana gema Hari Puisi itu selalu bergemuruh di kota-kota besar pada umumnya, tapi Jasman Bandul yang juga cikgu bahasa Indonesia itu menggemakannya di pelosok ceruk kampung bersama para siswanya. Keterbatasan tak membuat mereka rapuh dengan keadaan, tapi sebaliknya kegembiraan merayakan sastra membuncah bersama-sama.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook