OLEH TAUFIK IKRAM JAMIL

Kebencian

Seni Budaya | Minggu, 08 November 2015 - 16:23 WIB

Mendapat imbuan ke-an, benci menjadi kata sifat yang berarti perasaan benci, sifat-sifat benci, misalnya melalui kalimat, “Motif pemberontakan itu ialah kebencian terhadap kaum penjajah.” Kebencian juga mengandung sesuatu yang dibenci seperti dalam kalimat, “Judi merupakan kebencian orang dalam kampung itu.”

Tentu, benci bukan sesuatu yang aneh bagi manusia, bahkan memang merupakan salah satu sifat dasar. Dalam psikologi dikemukakan bahwa benci disebut sebagai pernyataan ego yang ingin menghancurkan sumber-sumber ketidakbahagiaannya. Benci bahkan disebut suatu emosi yang mengekspresikan permusuhan dan kemarahan terhadap seseorang, kelompok atau objek tertentu. Jadi, benci merupakan lambang, bukan aksi.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Hal di atas juga bermakna bahwa benci juga memerlukan penyaluran, sehingga tidak mengendap di dalam diri seseorang begitu saja. Pada masa informasi ini, saluran itu terbuka lebar. Tanpa edit, tanpa melalui sensor, apa pun perasaan dapat dimuntahkankan karena seperti halnya benci, penyaluran kebencian itu juga merupakan sesuatu yang bersifat naluriah juga.

Sebaliknya, benci dan kebencian, tidak serta-merta berisi negatif yang bisa dinegatifkan pula. Contohnya, orang yang membenci kemungkaran yang dengan suatu kesadaran tertentu menyalurkannya di media sosial—apalagi mengingat bahwa saluran itulah yang paling ampuh dalam menyampaikan suatu pesan. Hal ini tentu tidak baik bagi pelaku kemungkaran, sehingga pembenci kemungkaran itu dianggapnya telah berbuat negatif.

“Di situlah masalahnya, benci juga bisa menjadi multitafsir, sehingga kemungkinan maknanya bisa tergantung pada si penafsir,” tulis saya kepada Wahab. Saya menambahkan, apalagi rasa tidak suka, juga dapat berisi kritik terhadap sesuatu, misalnya bagaimana orang tidak setuju dengan suatu kebijakan, misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak, yang disebarkannya melalui media. Selain itu, tidak mustahil tafsir tersebut tergantung pula pada kepentingan yang menafsir.

Oleh karena itulah, sebagaimana SMS-SMS sebelumnya, kepada Wahab saya mengatakan, menindak ujaran kebencian, bukan dari tafsir terhadap kebencian itu sendiri, tetapi dari akibatnya yakni sejauh mana dampaknya dalam sosial. Dampak tersebut tidak dapat diukur dari perasaan pula karena perasaan sebagaimana benci, tidak juga dapat ditakar; tetapi sejauh mana ujaran tersebut menimbulkan bentrok fisik antarpribadi yang sebenarnya sudah diatur dalam berbagai ketentuan terutama KUHP.

Kalau mau mudahnya, ya tutup saja saluran yang dapat menampung curahan kebencian itu sendiri. “Ah, tidaklah ya. Itu namanya membelenggu demokrasi. Tapi.... Yah, memang tidak sederhana ketika benci dikaitkan dengan hukum formal ya?”***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook