Parningotan
: Melulu Afrida
Kala sendu sendirian, kuseduh masalalu nan hangat di ingatan.
Kala masa kecil adalah masa yang musykil kita panggil kecuali
kebahagiaan yang akil dan gigil yang dekil
Daganaki,
muda hari Salasa, mulak maridi Sosa,
Dohot mata rara harani merengge,
Gutgut ni ina do natarbege.
Soadong gogomu pasonang rohania.
Maka,
Ke hutan-hutan para langkah kami gesa,
berburu dengan siasat senja yang kian tiba.
Di hutan itu, bersama nyamuk sebesar begu,
kami kutip juga Siminyak, sayur yang demikan rancak
ditimpa kemarau.
Ini akan membuat mata ibu hijau. Atau robung,
yang tidak melulu untuk bedil dan meriam,
ini akan membuat lubang pipi ibu bersemayam.
Atau nasi-nasi yang kadang menjulur daunnya sesempit nasib kami,
yang membuat hati ibu tak jadi lesi.
Demikianlah, kami pungut sesuatu untuk menjemput Rabu,
dimana ibu jadi Inang Parengge-rengge, berebut pembeli
dengan diam dan sungut.
Suatu ketika, kami ke sungai Garingging menangguk ikan
sebesar kelingking, mengkahap ikan Rappang-rappang
atau apa pun yang menyukai lindungan kayu terbenam
atau berendam.
Jika tak awas, Inggit-inggit akan menanding tangan atau lengan kami.
Kadang kami menangis, sembari buru-buru membuka celana
dan mengencingi luka.
Di lain waktu kami ke Sungai Tarikan, mencari lakkitang
yang menyesap ke tubuh kayu, atau telungkup di napal-napal.
Dari dalam air tangan kami melulu terkepal, bersama batu
kami pilih berbagai lakkitang.
Atau ke Batang Sosa, mengoban indahan dengan lauk mie Sakura.
Selepas makan ala kekanak kami sibuk mengepung ikan Juara.
Kain di bentang, di lempung takkuju sungai. Dua orang memegang
empat ujung kain, yang lain berlari menghalau anak-anak ikan
ke jebakan.
Jika beruntung ikan itu kami boyom jika sedikit,
omelan ibu hanya membikin hati sakit.
Songonima caritona Akkang,
Ni rohakku mittop ma palito.
Demikian terang masalalu itu,
Antara gersang dan sungsang nasibku di Pekanbaru.
Kadang masih kusempatkan medongak ke belakang,
sembari membenarkan ketakutan dan harapku tak lupa
pada daratan. Muasal dan akar-akar margaku.
Miraj Sangga 2015
...dari Mimpi
aku tak pernah memiliki rasa yang lebih baik
dari mimpi, gunung di pundak yang pecah jadi nyali,
menyala sepanjang tali nyawa ini.
hidup memang menumpang pada bintang,
pada cahaya yang mengambang
di malam badan, sampan-sampan angan memusar tampan,
kedalaman doa yang semakin sakal. ibu memeluk batu
sekeras tunggu, aku pemancing lumut yang kawatir
pada hijau yang selalu, menandaskan usia yang terus
menjamur sia-sia. kupetik lima ribu putik airmata,
dari kristal jiwa paling depan, sembari menyemarakkan
kesedihan dengan dekorasi simpan plan.
kebahagiaan kutangguhkan, keteguhan kuteguk satu-satu,
kehausanku pada tuhan perlahan lurus, seluruh jalan di akalku
menjadi umbi besar.
dimana kokoh peluk ayah, mengugurkan pelupukku satu-satu,
sebelum terbang dan terbakar matahari, abunya menggemburkan
mata hati.biji-biji masa depan sudah akan bersemi, sari-sarinya
milik wangi selangit
2015