Suguhan sembilan karya repertoar Riau Rhythm Chambers Indonesia (RRCI) bertajuk Riau Rhythm in Orchestra, “Awang Menunggang Gelombang” semakin mematangkan proses penciptaan album terbaru mereka. Rino Dezapati Mby (komposer) dan kawan-kawan menunjukkan levelnya dalam mengolah narasi semesta kuno menjadi harmoni kekinian yang sempurna dan mendunia.
Laporan: Kunni Masrohanti (Pekanbaru)
MAGIS. Itulah kesan pertama yang terasa. Kesan itu serupa ‘sihir’ dari mantra lama dengan nuansa kemistikkannya. Konser yang berlangsung dua malam, Jumat (30/10) dan Sabtu (31/10) itu dibuka dengan satu nomor karya dari album sebelumnya, Sound of Suvarnadvipa dan dilanjutkan orkestra Potpourri sebagai prelude konser, Riau Rhythm in Orchestra. Karya ini menjadi bunga rampai dari sembilan nomor karya terbaru RRCI yang orkestrasinya dikerjakan Nurkholis SSn MSn (komponis dan juga akademikus musik ISI Padang Panjang).
Maka mengalirlah karya-karya terbaru mereka seperti air dari hulu menuju samudera nan luas. Dihayun gelombang pertama dengan nomor karya, “Songka Bala”, “Mystical Zamatera”, “Kembara Suara”, “Telipuk Layu”, “Pak Yong Muda”, “Kala Kiwi”, “Mappalece Bombang”, dan ditutup dengan karya pemuncak, “Awang Menunggang Gelombang”.
Masing-masing karya mengisahkan spirit pengembaraan Panglimo Awang. Pelaut ulung itu dipercaya sebagai orang pertama yang mengelilingi bumi secara sempurna pada 499 tahun lalu. Ia dipercaya sebagai navigator kapal Ferdinand Magellan dari Spanyol Selatan menuju Kepulauan Nusantara. Jasa budak Zamatera yang dikenal di dunia luar sebagai Enrique de Malacca itu sepatutnyalah dikenang dan dimaknai sebagai kehebatan orang Melayu dahulu.
Bahkan Rino Dezapaty lewat karya, "Awang Menunggang Gelombang" menawarkan pesan kepada generasi muda hari ini untuk tidak sekadar menunggang gelombang, melainkan menciptakan gelombang agar tidak digulung gelombang. Artinya, jika seorang pemuda Melayu pada 500 tahun lalu telah membuktikannya di depan cermin dunia, maka tidak mustahil hari ini, spirit itu bisa diulang atau dilampaui.
Meminjam Mata Elang
Untuk mengikuti pengembaraan Panglimo Awang lewat sembilan repertor itu, perlu kiranya, penikmat meminjam ‘mata elang’ dalam menyelami situasi dan suasana masa lampau. Menatap dunia dari puncak Candi Mahligai (salah satu dari empat candi di komplek percandian Muaratakus) untuk kemudian mengepakkan sayap ke angkasa dan menajamkan pandangan pada sosok Awang yang memulai pengembaraannya. Paling tidak, pengisahan yang ditawarkan melalui bunyi nan harmoni itu menuntun keliaran imajinasi menuju sosok Panglimo Awang.
Karya “Songka Bala” misalnya, pengkarya meminjam ritual yang biasa dilakukan pelaut Bugis-Makasar sebelum melakukan pengembaraan. Songka Bala atau Tolak Bala ini bertujuan untuk membina koneksi diri dengan alam. Di sini, pengkarya mengisahkan hasrat Panglimo Awang untuk mengelilingi bumi. Karena setiap pengembaraan merupakan ajang pembuktian kesejatian dan ketangguhan seorang pelaut. Meskipun dikemudian hari, pengembaraan Panglimo Awang bersama Fedinand Magellan melahirkan kontroversi antara ‘Heroisme’ dan ‘Pengkhianatan’. Berbagai pihak menafsirkan, Panglimo Awang-lah yang membuka jalan kolonisasi di Nusantara. Dan karya ini menghadirkan Syair Pelayaran Kampar menggambarkan ketakberdayaan dan sikap penyerahan diri total terhadap kuasa absolut.
Karya “Mystical Zamatera”, nuansa dan ornamen musik Melayu Kepulauan sangat terasa sebagai gambaran fragmentasi kehidupan Selat Malaka yang menjadi dermaga awal pengembaraan Awang. Dalam catatan Antonio Pigafetta (juru tulis ekspedisi Magellan) ditemukan bahwa Zamatera identik dengan Sumatera sebagai kampung halaman Enrique de Malacca. Pemuda ini sudah bergaul dan lalu-lalang di jalur perdagangan Selat Malaka. Jalur yang mencapai puncak kejayaannya di akhir abad 14 masehi sampai Kerajaan Malaka ditaklukkan Portugis. Penaklukkan itu menjadi kisah awal perjalanan penting Awang, meski sebagai budak perang.
Selain memerlukan fisik yang prima, tingkat intelegensia di atas rata-rata, expedisi Magellan menciptakan ketegangan psikologi seorang Awang. Apalagi pembaptisannya dari Panglimo Awang menjadi Enrique de Malacca. Namun Pigafetta yakin, dalam hatinya, Awang masih memegang teguh agama Islam. Inilah yang dikisahkan dalam karya “Kembara Suara“ begitu mengharubirunya Panglimo Awang pada daratan dan hutan, meski badan terombang-ambing di lautan.
Di karya “Talipuk Layu”, seorang musisi tradisi Kampar, Salman dipercaya membuka musik dari tradisi lisan Pantun Atuih (pantun seratus malam). Karya ini mengisahkan Panglimo Awang sebagai sosok tertuduh yang membuka jalan bagi bangsa Eropa untuk mendapatkan keuntungan besar dari rempah-rempah yang ada di Nusantara. Apalagi rempah memang menjadi idaman bangsa Eropa di masa itu. Pergulatan batin antara mencintai negeri asal dan keputusan yang disangkanya mulia itu ibarat talipuk (teratai: Melayu darat) layu pada saat indah-indahnya.
Perjalanan panjang Palimo Awang ditafsirkan dan digambarkan Rino Dezapaty lewat berbagai narasi, baik Awang yang sedang mengelabui Kerajaan Inggris, setelah mencoba merebut Malaka dari Portugis. Karya “Pak Yong Muda” ini, diangkat dari Teater Tradisi Mak Yong untuk menggambarkan kejenakaan orang Melayu, termasuk Panglimo Awang, sampai pada bersiasat sekalipun.
Lalu berturut-turut menggambarkan suasana laut lewat karya, “Kala Kiwi” yang dipercayai sebagai hantu laut di perairan Malaka. Di “Mappalece Bombang”, berkisah pula tentang mantra untuk membujuk gelombang agar pelaut selamat dari marabahaya. Karya “Jong” adalah tafsir musikal terhadap tradisi permainan rakyat jong katel di perairan Kuala Kampar dan beberapa daerah lain di Riau. Dan ditutup dengan karya “Awang Menunggang Gelombang“ sebagai penafsiran pengembaraan Panglimo Awang mengeliling bumi.
Komposer RRCI Rino Dezapaty memaparkan, proses penciptaan karya dimulai sejak akhir 2018. Bermula dari diskusi informal dengan budayawan Riau Al azhar mengenai pengembaraan Panglimo Awang yang menjadi perhatian dunia, baik itu sejarawan maupun kaum intelektual lain. Selain itu juga dari diskusi kecil dan pengumpulan bahan serta data pendukung lainnya. Hingga mereka menemukan informasi bahwa Panglimo Awang diklaim sebagai manusia pertama yang berhasil mengelilingi bumi dengan sempurna.
Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia sedang giat mengupayakan kebangkitan kembali kejayaan Maritim Nusantara melalui wacana Jalur Rempah. Data yang terkumpul kemudian menjadi materi dasar bagi Rino Dezapati untuk ditafsir menjadi bebunyian dan harmoni karya musik.
“Selama dua tahun terakhir penciptaan sembilan repertoar musik yang mengandaikan pengembaraan Panglimo Awang kami garap bersama. Karya ‘Awang Menunggang Gelombang’ ini dari hasil pembacaan berdasarkan sudut pandang ke-Riau-an. Artinya Panglimo Awang dan pengembaraannya merupakan teks yang bebas untuk ditafsirkan,” ulas Rino berfilosofi.
Banyak hal yang terekam dan terlintas di kepala audiens sepanjang konser “Riau Rhythm in Orchestra” itu. Konser yang melibatkan 70-an musisi itu menjadi puncak kemegahan pagelaran perhelatan musik sepanjang masa pandemi Covid-19 di 2020, minimal di Riau. Ini menjadi bukti, bahwa seniman dan audiensnya tak bisa dipisahkan. Terbukti, target dan batas maksimum jumlah penonton yang memadati Anjung Seni Idrus Tintin terpenuhi. Bahkan menurut Rino, banyak penonton yang kecewa karena kehabisan tiket masuk.***