SAJAK

Sajak-sajak Muhammad Asqalani

Seni Budaya | Minggu, 01 November 2015 - 16:13 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Parningotan

: Melulu Afrida

Kala sendu sendirian, kuseduh masalalu nan hangat di ingatan.

Kala masa kecil adalah masa yang musykil kita panggil kecuali

kebahagiaan yang akil dan gigil yang dekil

Daganaki,

muda hari Salasa, mulak maridi Sosa,

Dohot mata rara harani merengge,

Gutgut ni ina do natarbege.

Soadong gogomu pasonang rohania.

Maka,

Ke hutan-hutan para langkah kami gesa,

berburu dengan siasat senja yang kian tiba.

Di hutan itu, bersama nyamuk sebesar begu,

kami kutip juga Siminyak, sayur yang demikan rancak

ditimpa kemarau.

Ini akan membuat mata ibu hijau. Atau robung,

yang tidak melulu untuk bedil dan meriam,

ini akan membuat lubang pipi ibu bersemayam.

Atau nasi-nasi yang kadang menjulur daunnya sesempit nasib kami,

yang membuat hati ibu tak jadi lesi.

Demikianlah, kami pungut sesuatu untuk menjemput Rabu,

dimana ibu jadi Inang Parengge-rengge, berebut pembeli

dengan diam dan sungut.

Suatu ketika, kami ke sungai Garingging menangguk ikan

sebesar kelingking, mengkahap ikan Rappang-rappang

atau apa pun yang menyukai lindungan kayu terbenam

atau berendam.

Jika tak awas, Inggit-inggit akan menanding tangan atau lengan kami.

Kadang kami menangis, sembari buru-buru membuka celana

dan mengencingi luka.

Di lain waktu kami ke Sungai Tarikan, mencari lakkitang

yang menyesap ke tubuh kayu, atau telungkup di napal-napal.

Dari dalam air tangan kami melulu terkepal, bersama batu

kami pilih berbagai lakkitang.

Atau ke Batang Sosa, mengoban indahan dengan lauk mie Sakura.

Selepas makan ala kekanak kami sibuk mengepung ikan Juara.

Kain di bentang, di lempung takkuju sungai. Dua orang memegang

empat ujung kain, yang lain berlari menghalau anak-anak ikan

ke jebakan.

Jika beruntung ikan itu kami boyom jika sedikit,

omelan ibu hanya membikin hati sakit.

Songonima caritona Akkang,

Ni rohakku mittop ma palito.

Demikian terang masalalu itu,

Antara gersang dan sungsang nasibku di Pekanbaru.

Kadang masih kusempatkan medongak ke belakang,

sembari membenarkan ketakutan dan harapku tak lupa

pada daratan. Muasal dan akar-akar margaku.

Miraj Sangga 2015

...dari Mimpi

aku tak pernah memiliki rasa yang lebih baik

dari mimpi, gunung di pundak yang pecah jadi nyali,

menyala sepanjang tali nyawa ini.

hidup memang menumpang pada bintang,

pada cahaya yang mengambang

di malam badan, sampan-sampan angan memusar tampan,

kedalaman doa yang semakin sakal. ibu memeluk batu

sekeras tunggu, aku pemancing lumut yang kawatir

pada hijau yang selalu, menandaskan usia yang terus

menjamur sia-sia. kupetik lima ribu putik airmata,

dari kristal jiwa paling depan, sembari menyemarakkan

kesedihan dengan dekorasi simpan plan.

kebahagiaan kutangguhkan, keteguhan kuteguk satu-satu,

kehausanku pada tuhan perlahan lurus, seluruh jalan di akalku

menjadi umbi besar.

dimana kokoh peluk ayah, mengugurkan pelupukku satu-satu,

sebelum terbang dan terbakar matahari, abunya menggemburkan

mata hati.biji-biji masa depan sudah akan bersemi, sari-sarinya

milik wangi selangit

2015









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook