TAK berlebihan kalau kawan saya Abdul Wahab berpikir, bagaimana caranya untuk memberi anugerah pada Yayasan Sagang. Setiap tahun, yayasan ini memberi anugerah kepada seniman maupun budayawan, lembaga kebudayaan, dan entah apa lagi hal yang berkaitan langsung dengan produk ke budayaan, termasuk jurnalistik. Liputannya yang begitu luas, tak hanya di media cetak, tetapi juga lewat tabung kaca, dan media baru semacam BBM, menyebabkan anugerah ini begitu dikenal luas oleh masyarakat banyak.
“Sudah 20 tahun pula tanpa henti, mendahului apa yang disebut Reformasi, artinya sejak zaman Orde Baru yang mengekang. Tahun ini harus pula diberi catatan khusus,” tulis Wahab yang tinggal di kawasan Selat Melaka sana dalam pesan pendek telepon genggam (SMS). Dia menambahkan, tak saja dalam bentangan Sumatera, apa lagi Riau sendiri, anugerah dari Yayasan Sagang tersebut, bahkan fenomenal secara nasional dan di antara negara-negara serumpun.
Benar juga, saya pikir. Usahlah meletakkan
aktivitas Yayasan Sagang dengan anugerahnya itu dalam pertimbangan geografis Riau, secara nasional, anugerah Sagang hanya didahului oleh Rancage di Bandung. Tetapi jangkauan Sagang, tidak hanya untuk Riau—semacam Rancage untuk Sunda dan Jawa— tetapi meliputi kawasan budaya Melayu Raya. Tak heran kalau mendengar nama-nama asing dari negeri jauh dicalonkan untuk menerima anugerah Sagang sesuai kategorinya yakni anugerah serumpun.
Malaysia yang selalu disebut-sebut banyak memberi hadiah sebagai pemnghargaan terhadap senimannya, juga tidak memiliki tradisi yang dibuat oleh Yayasan Sagang. Untuk di dalam negeri, mereka konsisten seperti memberi Anugerah Sasterawan Negara, tetapi tidak untuk kawasan pendukung budaya Melayu lainnya. Dalam hal ini, Yayasan Sagang memberi pesan, sekurang-kurang hendak mengatakan bahwa kebudayaan Melayu jauh lebih besar dari geopolitik sekarang. Selain itu, Sagang juga hendak mengatakan bahwa suatu budaya memiliki pengaruh dan sebaliknya dari kawasan yang disebut inti.
Ada banyak pihak yang katakanlah di luar dirinya, telah terlibat dalam membangun maupun menjunjung kreativitas. “Keadaan ini tidak bisa dibantah, apalagi ditolak, yang pada gilirannya menunjukkan bahwa Melayu tidak mengamalkan sistem menutup diri, tetapi berlapang dada dalam keterbukaan wawasan, apalagi dengan sifat kebersamaan untuk suatu kemajuan. Bukankah begitu sobat?” tulis saya membalas SMS Wahab.