OLEH: MUSA ISMAIL

Memetik Cahaya Hakikat Hidup

Seni Budaya | Minggu, 01 Juli 2018 - 11:44 WIB

Memetik Cahaya  Hakikat Hidup
Musa Ismail

Sastrawan dan karya sastranya tidak bisa dilepaskan. Ketika telah melahirkan karyanya, sastrawan tidak pernah mati. Ideologi  sastrawan akan hidup merecup dalam karyanya. Karena itu, tidak heran jika karya sastra selalu bersentuhan dengan kitab suci sastrawannya. Dengan kata lain, karya sastra senantiasa bersebati dengan latar belakang kehidupan sastrawan.  Sebagai sastrawan, Hafney Maulana mengantarkan kita untuk memetik cahaya melalui antologi puisinya Memetik Cahaya (2017). Judul MC merupakan judul tersendiri yang disimpulkan oleh Hafney. Di dalam kumpulan puisi ini, kita tidak akan menemukan judul puisi sesuai dengan judul tersebut. Namun, hikmah memetik cahaya itu akan kita menggauli tubuh puisi-puisinya.  

Ketika kita berada di dalam lorong gelap, kita akan mencari cahaya. Kita akan berpikir, bagaimana cara bisa menemukan cahaya dalam lorong hitam. Kaki kita akan melangkah, tangan kita akan merapai dengan waspada untuk menemukan cahaya. Itu bermakna bahwa pada hakikatnya, kita gerun pada kegelapan. Fisik kita akan merasa aman jika berada dalam cahaya benderang. Begitu pula ketika kita berada dalam kegelapan jiwa. Hati menjadi kacau, galau, dan tidak tenteram. Sekebat dosa telah mengakumulasi titik-titik hitam menjadi ketidaknyamanan jiwa. Ketika itu, jiwa kita mencari cahaya Ilahi. Dalam Alquran, Surah An Nur, Ayat 35 menyatakan, ”Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pada hakikatnya, cahaya terbagi dua tingkatan, yaitu cahaya jasmaniah (rendah) dan cahaya rohaniah (tinggi). Cahaya jasmaniah akan memunculkan keindahan fisik. Cahaya rohaniah akan memantulkan keindahan jiwa hingga menembus pada keindahan fisik. Puisi-puisi Hafney ini ingin berbicara tentang cahaya jasmaniah dan rohaniah itu, cahaya bumi dan cahaya langit: cahaya semesta, cahaya makrokosmos. Kalau kita kaitkan dengan teori keindahan Al-Ghazali, maka puisi-puisi bernapas sufistik Hafney ini ingin memetik keindahan tertinggi, yaitu keindahan Ilahi. Dengan keindahan Ilahi, semua isi semesta dipandang dengan asma Ilahi. Apapun perbuatan yang kita lakukan berorientasi kepada keagungan Ilahi. Ada beberapa perbuatan untuk memetik cahaya Ilahi. Pertama, mengucapkan Bismillah. Beberapa frasa dalam puisi Alif Al Awali, Hafney sangat jelas menggambarkan cahaya dari keindahan Ilahi: Bismillah awal kata…/Bismillah awal kerja…/Bismillah awal langkah…/Bismillah awal tawakal…/Bismillah awal tafakur…. Frasa ini bermakna bahwa perilaku manusia sangat memerlukan cahaya dari Ilahi.

Kedua, berzikir dan berdoa. Puisi-puisi Hafney lebih banyak mengarahkan kita untuk berzikir dan berdoa. Hakikatnya berzikir dan berdoa adalah menempatkan diri kita dalam naungan cahaya Allah Yang Maha Agung. Puisi Zikirku menggambarkan bagaimana amalan tersebut dilakukan sepanjang hayat, dalam kesadaran yang panjang:

Zikirku bagai gumam tak selesai…/Zikirku bagai siul daun di tangkai…/Zikirku bagai air yang mengalir…/Zikirku, zikir syuhada. Tentang penempatan diri dalam naungan Allah Yang Maha Agung, Hafney menulisnya dalam Munajat Cinta: ….Langit dan bumi bersatu/bagai bersatunya bayangan dengan diriku/Semesta melebur api menjadi zat dalam darah/Angin menjadi nafas/Jika benar aku mendiam waktu-Mu/Lebutkan aku dalam diri-Mu//

Perbandingan-perbandingan antara mikro- dan makrokosmos sangat jelas dalam larik-larik tersebut, yaitu langit-bumi, bayangan-diriku, semesta-api-zat-darah, angin-nafas, aku-waktu-Mu, dan aku-diri-Mu. Dalam puisi Doa Setulus Hati, Hafney menggambarkan kekuatan doa: Menjelang maghrib, kukirim doa/setulus hati/damai bukan lagi mimpi. Perbandingan tersebut mendeskripsikan bahwa Allah memberikan naungan melalui doa yang kita munajatkan kepada-Nya.

Ketiga, hijrah. Menurut syariat, hijrah bermakna meninggalkan sesuatu hal buruk demi Allah Taala dan Rasul-Nya. Bisa kita terjemahkan bahwa hijrah merupakan meninggalkan perbuatan maksiat hanya karena Allah Taala dan Rasul-Nya dan melakukan amal ibarah hanya karena Allah Taala dan Rasul-Nya. Puisi Hijrah menggambarkan tentang kesunyian dan kesepian serta kegerunan jika berbuat dosa. Rasa hampa, air mata:

tertawa/Mencecah malam dan-/bayangan meninggalkanmu/Kau sendiri/Sendiri-/Dalam gelap meraba dosa/Menyebut-nyebut nama/Hijrah ke jalan terbuka.

Pesan puisi ini bahwa dosa-dosa yang kita lakukan akan memasung diri dalam kegelapan. Kehadiran Ilahi pun kita anggap kemustahilan. Larik akhir puisi ini membuka peluang bahwa hijrah akan membuka jalan menuju cahaya-Nya, memungkinkan Allah Taala menaungi kita.

Puisi-puisi Hafney merupakan hakikat kehidupan. Hakikat kehidupan adalah suatu perjalanan menuju tempata asal, begitu pandangan sufistik. Hidup kita bermula dari kekosongan dan akan berakhir dengan kekosongan. Tempat asal kita adalah kekosongan (ketidakberdayaan) kita kembali kepada Ilahi. Dalam ketidakberdayaan itulah, kita memerlukan cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi ini sebagai naungan ketika kita kembali kepada Allah Taala sebagai makhluk fana. Aku mendulang setiap yang bernama rindu/fana tubuhku pulang pada-Mu (puisi Perjalanan Panjang). Inilah hakikat hidup kita.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook