Taxi bergerak, tanya pun muncul. “Lewat mana Pak?”. Wah, tak ada peta (dalam pemikiran) sopir? Sopir malah bertanya kepada penumpang yang sejatinya harus lansung memetik kenyaman berkendara yang diimpikan. Sopir di Indonesia berlagak innocent dan sok ramah. Keramahan yang menyesatkan. Sesuatu yang tak selayaknya ditanya, malah ditanya ke penumpang. Kita yang duduk di bangku belakang jadi risih dan terganggu dengan pertanyaan singkat itu. Dia yang megang setir dan hilir mudik saban menit mengarungi ruas-ruas jalanan kota, malah bertanya kepada kita yang sejatinya awam dan tak tahu menahu tentang jalur jalan aman dan terpendek.
Kenapa kalimat tanya pendek itu meluncur dari sopir taxi? Taxi itu sejatinya bermakna gerak. Setiap gerak, dia mesti dipandu oleh sebuah kecerdasan mengenai ruang dan waktu. Sebab gerak itu sendiri mengetam ruang dan memangkas waktu. Gerak modern dalam sebuah kota yang berdenyut, mestilah dihiasi oleh akal sehat dan berpenampilan teknologis. Jika cab atau taxi di sebuah kota yang dilengkapi instrumen pandu GPS atau GPRS atau malah Google Map, dia malah memperlihatkan bahwa kenderaan angkut perkotaan itu telah masuk dalam gaya milenium serba hijau. Tak sekedar hemat energi, tetapi hemat terhadap perkakas kenderaan, mencakup; rem, ban, dan konstruksi bodi kenderaan, juga suspensi. Namun, kenyataan yang bergerak hari ini di kota-kota Indonesia, taxi dan sopirnya, masih saja diurus oleh orang-orang bermental sok ramah yang tak padan. Ramah, tapi mengusik, ramah tapi mengganggu. Keramahan yang menyesatkan.
Teknologi bergerak, membaharu, kian memudahkan gerak dan pemesanan bagi konsumen. Tapi, perusahaan yang bergerak dalam moda angkutan jalan raya, tak pernah membaharu dan mengencangkan pikiran dan hatinya untuk memberi pelayanan tercanggih, paling efisien dan hemat ucap, hemat kata, namun berbekal etika yang mengedepankan privacy penumpang (konsumen). Konsumen kian cerdas, pelayanan publik yang dipertontonkan oleh para perusahaan taxi dan sopir taxi masih dalam gaya zaman batu. Sebuah kenyataan yang tak adaptif sama sekali. Dan, kiamat pun tiba bagi perusahaan taxi yang mengedepankan ramah namun menyesatkan ini. Kiamat itu tiba ketika muncul bak cendawan, jasa angkutan perkotaan model aplikasi online (daring). Sebuah jawaban cerdas dan adaptif atas kecepatan capaian masyarakat dan konsumen yang mendambakan angkutan kota yang tak perlu mubazir dalam segala lini.
Datang tepat waktu, tak perlu menunggu di panas terik dalam ketidak-pastian berjenang. Mengantar tanpa embel-embel tanya yang mengusik. Mengantar dengan pasti, tanpa bayar tunai yang terkadang tanpa uang kembalian dari si sopir. Tak sekedar menjemput dan mengantar badan atau tubuh manusia, tetapi bisa pula membawa paket pesanan berupa barang belanjaan dan segala rupa keperluan konsumen, dengan teraan ongkos antar yang juga tak memerlukan uang pas dan atau tanpa kembalian uang receh. Dan inilah jenis konsumen cerdas, mengutamakan efisiensi yang menjadi penghuni kota-kota modern hari ini. Namun, pelayanan taxi tak mengikuti perkembangan “jiwa” masyarakat yang berubah massif. Kenapa perubahan ini demikian massif? Karena perkembangan teknologi informasi, dalam gerak digit yang serba pasti, sekaligus memperkecil perilaku koruptif yang selama ini ditoleransi oleh konsumen terhadap para sopir. Memang kedengarannya uang receh kecil. Kembalian 2000 rupiah atau 500 rupiah. Namun, tabiat ini jika diteruskan dia akan menjadi kebiasaan menggunung dan sudah dianggap biasa dalam bertransaksi di Indonesia. Sebuah transaksi yang tak saling merawat amanah. Ternyata, kita bukan bangsa amanah.
Taxi tiu bergerak, bisa perlahan sampai kecepatan tinggi. Dia harus menyuguhkan kenyamanan bagi konsumen. Ini bukan semata etika jual-beli, tapi terselip di dalamnya, secara substansial adalah amanah. Sebuah saham yang harus direkayasa demi menggalakkan hidup modern yang menuju pada suasana serba hemat energi, hemat waktu, hemat kata, namun maksimal dalam pelayanan. Manusia modern itu ciri khasnya adalah hemat dalam berkata dan berujar. Manusia modern itu, merawat privacy, hak pribadi yang tak mudah diumbar menjadi miliki bersama. Ada sesuatu yang disimpan di dalam diri manusia modern yang berderap melintas jalanan kota raya, kota metropolitan. Mereka laksana ‘seonggok komputer’ dengan memori yang padat, tak boleh bocor di jalanan, tak ingin ngadat di tengah jalan, atau pun tak boleh mengalami interupsi selama dalam perjalanan. Siapa sang interuptor itu? Sekali lagi, yang selalu menginterupsi manusia-manusia yang melintas jalanan kota itu tak lain tak bukan adalah para sopir taxi konvensional. Terlalu ramah, namun amat mengganggu. Ada jenis pertanyaan yang tak perlu disodorkan, malah dilontarkan kepada penumpang. Sebuah pertanyaan yang tak produktif untuk ukuran masyarakat yang tengah menjalani peristiwa meng-kota (urbanized).
Taxi yang bergerak dan sopir yang bertanya, adalah jenis pelayanan konvensional yang bertatap muka. Saat ini, konsumen dan sopir memposisikan diri dalam posisi binary yang tak beridentitas (nir-nama, no name, atau anonymus). Identitasnya tak lebih dari identitas fungsional (penumpang dan sopir). Dalam selodong cab atau taxi, hanya ada dua manusia yang dimanjakan oleh keramahan profesi, bukan keramahan primordial. Ketika memaksa keramahan primordial, maka hubungan manusia di dalam cab atau taxi itu berubah sontak menjadi hubungan silaturahmi duaan (deuce) yang sarat emosi jiran, tak lagi emosi profesi. Emosi berjiran itu bawaannya; terlalu ingin banyak tahu tentang tetangga sebelah (alias kepo). Terlalu mengurus dan peduli-pedulian mengenai jiran sebelah. Lama kelamaan emosi jenis ini, malah bertabiat ikut campur, intervensi dan ingin menguasai orang lain dalam selera dia. Orang-orang membentuk diri berdasarkan kemauan orang lain; menurut si anu, menurut si fulan, menurut maunya atasan, menurut kesenangan pejabat, menurut maunya orang-orang kaya dan berpengaruh. Diri tak pernah menjadi diri dalam kepungan tembok emosi berjiran. Dia mencari wadah yang tepat untuk ihwal itu; dikenal sebagai kampung, luhak, huta. Inilah ranah batin primordial. Di sini pelayanan taxi atau cab modern tak diperlukan. Dan memang tiada. Dia berubah wujud dalam moda angkutan roda; beca, bendi, andong atau malah pedati he he.
Perusahaan taxi yang tak siap dengan perkembangan teknologi aplikasi online itu pun menumpahkan para sopirnya mengepung jalanan kota. Mereka berdemo, berujung anarkhis. Bukan keramah-tamahan yang dipertontonkan, tapi jiwa ‘kanibal’ jadi penghiasan teater jalanan hingga memecah hari. Tak sekadar menganggu kenderaan, tetapi juga mengusik orang dan penumpang yang bergegas dalam harap. Di sini pemerintah tak jua siap dan siaga dalam perangkat undang-undang untuk memayungi fenomena kenderaan angkut aplikasi daring yang seakan terliarkan, terbiarkan, sementara teknologi itu sendiri telah memaksa masyarakat untuk memanfaatkan secara cerdas dan hemat, terutama melindungi privacy. Kisah miris ini sebenarnya berawal dari para pemegang saham yang tak lagi dimanjakan oleh pendapatan bulanan, sehingga merasa terusik. Mereka bukan malah memperbarui pelayanan, memperbarui teknologi, mengemas manajemen resiko yang progresif, mengikuti rentak dan rempak kemajuan sosial dalam dunia internet dan aplikasi pemesanan oleh pihak konsumen. Mereka tak lebih hanya mempertontonkan sisi reaktif, bukan malah berlaku aktif mencari dan menemukan bentuk-bentuk pelayanan baru, terbarukan, membaharu sejalan dengan kebaruan-kebaruan yang dicapai oleh masyarakat secara masif. Pemerintah di satu sisi, ingin meletakkan diri sebagai regulator, tetapi malah gamang dan gagap. Mungkin malah gugup. Entahlah.***