Semua mungkin setuju kenaikan harga minyak tersebut akibat keputusan Presiden AS Donald Trump yang menyatakan AS keluar dari kesepakatan dengan Iran terkait perjanjian nuklir. Di mana AS menuding Iran tidak komit dan tidak sungguh-sungguh menjalankan perjanjian tersebut. Perjanjian itu ditandatangani pada zaman Presiden AS Barack Obama. Ternyata dampak dari sikap Trump itu berkaitan langsung dengan minyak hasil produksi Iran tidak bisa lagi masuk ke pasaran dunia secara bebas.
Ya, memang terjadi hukum ekonomi secara mendasar, di mana selama persediaan menipis maka harga akan naik, dan itu terjadi sekarang pada pasar minyak mentah dunia. Secara kasat mata saja dapat diduga bila Arab Saudi bisa menahan diri dan tidak mengambil peluang dari “kesempatan dalam kesempitan” yaitu dengan tidak menaikkan jumlah produksi minyaknya dengan dalih mengisi kekosongan produksi minyak Iran di pasar, maka bukan tidak mungkin dalam waktu dekat akan terjadi harga minyak bisa tembus 100 dolar AS per barel.
Namun tiga negara terbesar dalam penghasil minyak mentah ini memang penentu banget dalam harga minyak mendatang. Yaitu Arab Saudi, Rusia dan AS. Di mana ketiganya punya produksi minyak melebih 11 juta barel per hari. Pertanyaannya apakah mungkin harga minyak mentah akan tembus menjadi 100 dolar AS per barel? Jawabannya tentu tidak. Sebab sudah ada pertemuan antara Menteri Energi Rusia Alexander Novak dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al-Falih di St Petesburg, dalam rangka membahas rencana untuk mengompensasi jatuhnya produksi di Venezuela serta potensi disrupsi ekspor minyak dari Iran. Kedua Menteri itu merencanakan peningkatan pasokan sebesar 1 juta barel bph untuk mendinginkan harga minyak yang melambung.
Dalih dari Al-Falih Menteri Energi Arab Saudi adalah kekhawatirannya terkait dampak harga minyak yang melebihi tingkat 80 dolar AS per barel terhadap negara konsumen seperti Cina dan India. Sebab bila harga minyak mentah tembus 100 dolar AS per barel, secara ekonomi global akan hancur dan terpuruk. Sebab Cina dan India yang merupakan pengimpor minyak terbesar akan morat-marit. Akibatnya dunia pun akan kena getahnya. Sehingga krisis global yang saat ini terasa mulai pulih akan kembali hancur.
Kalau kita menengok ke belakang pada tiga tahun terakhir, rasanya tidak percaya harga minyak akan bisa tembus lagi pada 80 dolar AS per barel. Di mana pernah terjadi pada saat Januari 2016. Pada tahun lalu sempat menyentuh 26,5 dolar AS/barel untuk WTI dan 27,8 dolar AS/barel untuk brent. Mungkin kita semua tidak percaya pada saat itu minyak mentah kalah mahal dibandingkan 1 barel air mineral dan juga dibandingkan dengan harga susu dan cocacola dalam ukuran takaran yang sama yaitu barel. Mengapa bisa terjadi over supply? Menurut informasi dari OPEC, kelebihan suplai minyak diperkirakan sebesar 1,5 juta barel per hari. Ini terjadi setelah embargo untuk Iran dicabut, makanya suplai minyak mentah melimpah di pasaran.
Sejak Juni 2016 sampai Mei 2017, harga minyak mentah itu baik jenis WTI maupun brent hanya berkisar seputaran 50-55 dolar AS/barel. Ya memang di bulan Juli 2008, minyak mentah dunia mencapai titik rekor tertinggi baru pada 147,50 dolar AS per barel di London dan 147,27 dolar AS per barel di New York.
Diperkirakan harga minyak mentah dijaga keseimbangannya pada 65 dolar AS–70 dolar AS per barel. Sebab harga segitulah yang pada posisi keseimbangan terjadi pada semua pihak, dan krisis global tidak berlanjut. Kesimpulannya? Walapun kerap kali keputusan dari Trump yang sering kontroversi dan ternyata untuk kali ini keputusan Trump terkait perjanjian nuklir dengan Iran, membawa keberkahan bagi negara-negara produsen minyak sampai tidak equlilibrium tertentu.***