Anggaran Pembangunan Dinilai Belum Pro Rakyat

Riau | Senin, 30 Juli 2012 - 09:29 WIB

PEKANBARU (RP)- Anggaran pembangunan Indonesia saat ini masih berwajah birokrat. Penganggaran disusun bukan cerminan dari kehendak rakyat, tapi lebih keinginan dari para pejabat.

Demikian diungkapkan M Rawa El Amady, saat menjadi narasumber dalam diskusi, ‘’Transparansi Anggaran dan Upaya Memperkuat Peran Pengawasan Masyarakat’’ yang dihelat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru di Green Hotel, Sabtu (28/7) lalu.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Peserta diskusi berasal dari kalangan jurnalis dari berbagai media di Riau, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Scale Up, Jikalahari, Greenpeace, dan Fopersma Riau.

Dikatakan Rawa, setidaknya ada tiga penyebab penganggaran berwajah birokrat. Pertama, prinsip penganggaran tidak berbasis visi dan misi.

'’Seseorang yang mencalonkan diri menjadi pejabat tidak memiliki ideologi yang akan diperjuangkan, baik itu ideologi politik, maupun ideologi perjuangan seseorang,’’ ungkap pendiri LPAD ini.

Kedua, menurutnya proses penganggaran berbasis pengembalian modal politik. Seorang calon pejabat harus mengeluarkan uang banyak untuk menduduki satu jabatan.

‘’Maka setiap penganggaran sudah tentu bertujuan mengembalikan modal politik tadi. Sebab itu, korupsi menjadi pilihan satu-satunya para pejabat di Indonesia. Untuk mempermudah korupsi, maka anggaran harus berbasis pejabat, bukan rakyat,’’ tegasnya.   

Ketiga, masih lemahnya mekanisme partisipasi dan transparansi. Partisipasi dalam penganggaran akan berkembang dengan baik jika dua penyebab di atas sudah tidak ada, dan didukung pula keyakinan transparansi untuk melibatkan masyarakat pada semua proses pengganggaran.

‘’Proses penganggaran yang benar harus melibatkan tiga komponen penting, yakni pemerintah, legislatif dan rakyat dalam semua prosesnya. Pemerintah sebagai penyelenggara anggaran mulai dari perancangan hingga ke pelaksanaan, rakyat memberi input, mengkritisi dan mengawasi berdasarkan daerahnya masing-masing.

Sementara legislatif memastikan bahwa aspirasi dari rakyat di daerahnya tersebut masuk dalam rencana anggaran, dilaksanakan dengan benar dan dinikmati oleh rakyat secara langung,’’ katanya.

Sementara itu, Triono Hadi dari Fitra, menyoroti keterbukaan informasi di Riau yang masih jauh dari harapan. Padahal sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), publik berhak tahu informasi yang menyangkut kepentingan publik.

Seharusnya, dua tahun setelah disahkannya UU tersebut, setiap provinsi harus membentuk lembaga KIP tersebut. Namun, di Riau setakat ini lembaga KIP itu tidak terwujud.

‘’Jangankan masyarakat awam, kami (Fitra) pun merasakan betapa sulitnya mendapatkan informasi penggunaan APBD. Yang bisa kami akses hanya APBD murni saja, sedangkan APBD Perubahan tidak bisa kami dapatkan. Oleh karena itu, kita harus mendorong untuk terwujudnya lembaga KIP di Riau,’’ katanya.

‘’Untuk mendapatkan informasi itu, anehnya kita masuk di rumah kita (rakyat) seperti maling. Padahal, masyarakat punya hak untuk mengetahui penggunaan anggaran itu,’’ ujarnya lagi.

Terkait transparansi anggaran, Triono mengusulkan penganggaran berbasis kinerja. Hal ini penting supaya terjadi transparansi anggaran.

‘’Penganggaran berbasis kinerja mempunyai dua konsep dasar, yaitu tata pemerintahan yang baik (good governance) dan bernilai uang (value for money). Tata pemerintahan yang baik mencakup prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Sedangkan bernilai uang mencakup prinsip 3E, yakni efektifitas, efisiensi, dan ekonomis,’’ katanya.

Meski sedang berpuasa, diskusi yang dipandu Ketua AJI Pekanbaru, Ilham M Yasir ini berlangsung seru. Berbagai pertanyaan diajukan peserta diskusi, mulai dari menumbuhkan kepedulian masyarakat peduli APBD, langkah jurnalis dalam pengawasan APBD, jadi anggota dewan dengan biaya murni, dan sebagainya.(mar)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook