Kejagung Bebaskan Empat Tersangka Kasus Chevron

Riau | Kamis, 29 November 2012 - 18:53 WIB

Kejagung Bebaskan Empat Tersangka Kasus Chevron
PT CHEVRON PACIFIC INDONESIA

Riau Pos Online - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin memutuskan, penetapan tersangka dan penahanan empat karyawan PT Chevron  Pacific Indonesia oleh Kejaksaan Agung tidak  sah. Hakim juga memerintahkan Kejagung membebaskan empat tersangka kasus dugaan  korupsi proyek pemulihan lahan (bioremediasi) tambang minyak PT Chevron itu

Dalam sidang yang digelar se­rentak di empat ruang sidang ber­beda di PN Jaksel, empat hakim tunggal yang menangani per­mo­ho­nan praperadilan empat ter­sangka itu, memutuskan untuk menerima sebagian permohonan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Empat hakim itu yakni, hakim M Samiadji untuk sidang pemo­hon Widodo, hakim Suko Har­so­no untuk sidang pemohon Bach­tiar Abdul Fatah, Hakim Haryono untuk sidang pemohon Kukuh Restafari dan hakim Ari Jiwan­tara untuk sidang pemohon En­dah Rumbiyanti.

Dalam putusannya, hakim Ari Jiwantara menyatakan, penetapan tersangka dan penahanan terha­dap Endah tidak sah, karena tidak cukup bukti dan tidak sesuai KUHAP. Lantaran itu, Ari me­me­rin­tahkan Kejagung mem­be­ba­skan Endah.

“Memerintahkan ter­mohon untuk membebaskan pemohon, membayar ganti rugi kepada pe­mo­hon sebesar Rp 1 juta, memu­lihkan hak-hak pemohon serta harkat martabatnya. Menghukum termohon membayar biaya pra­pe­radilan,” tegasnya.

Begitu pula hakim Suko Har­so­no dalam pertimbangannya me­nyebutkan, penetapan ter­sang­ka dan penahanan terhadap Bach­tiar tidak sah. “Memerintahkan ke­pada termohon untuk membe­bas­kan tersangka Bachtiar Abdul Fa­tah dari tahanan, seketika se­telah putusan ini dibacakan,” tandasnya.

Namun, menurut Suko, hakim tidak berwenang menghentikan penyidikan. “Untuk menghenti­kan penyidikan, bukan meru­pa­kan ruang lingkup materi pra­pe­ra­dilan, sehingga terhadap per­mo­honan ini harus dik­es­am­ping­kan dan ditolak,” tandasnya.

Putusan serupa dikeluarkan hakim M Samiadji yang mena­ngani permohonan praperadilan Widodo. Menurut Samiadji, pe­netapan tersangka dan penahanan yang dilakukan penyidik Pidsus Kejagung terhadap Widodo tidak didasarkan alat bukti yang cukup, sehingga tidak sah.

Menurutnya, pe­nahanan dapat dilakukan pene­gak hukum berda­sar­kan alat bukti yang cukup, se­suai Pasal 183 KUHAP. “Mi­sal­nya, ada dua sak­si, ada hasil au­dit. Di berkas tidak ada, tidak di­aju­kan semua, se­hing­ga kami ang­gap itu ti­dak cu­kup,” kata Samiadji.

Selama sidang praperadilan, lanjut Samiadji, pihak Kejagung tidak mampu menunjukkan buk­ti-bukti kuat yang menjadi acuan penahanan tersangka. “Termohon tidak ajukan bukti-bukti lain yang dianggap memenuhi Pasal 183 KUHAP itu. Jadi, karena pena­ha­nan tidak didasarkan pada alat bukti yang cukup, maka pena­ha­nan itu harus dinyatakan tidak sah,” katanya.

Putusan serupa juga diketuk hakim Haryono yang menangani permohonan praperadilan ter­sang­ka Kukuh Restafari.

Setelah empat hakim menge­lua­rkan putusan itu, kuasa hukum empat tersangka tersebut, Maqdir Ismail meminta Keja­gung me­nghen­tikan penyidikan kasus ini. “Kasus ini harus di­hentikan, ka­re­na alasan mereka dijadikan ter­sangka itu tidak ada,” kata Maq­dir seusai persi­da­ngan di PN Jak­sel, Jalan Am­pera Raya, kemarin.

Maqdir mengakui, hakim tidak menerima permohonan empat karyawan Chevron agar Keja­gung menghentikan penyidikan kasus ini. Namun, katanya, hakim menyatakan penetapan dan pe­nahanan empat tersangka itu ti­dak sah, sehingga penyidikan ha­rus digugurkan.

“Kalau tidak sah jadi tersang­ka, penyidikannya juga tidak sah. Hemat saya, kasus ini harus di­tutup, kecuali kejaksaan punya tersangka baru. Menurut hakim, penetapan tersangka pada empat orang ini tidak sah. Karena tidak ada tersangka, tidak ada perkara pidana,” tandasnya.

Sementara itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyampaikan, Keja­gung menghormati putusan ha­kim dan akan melaksanakannya  sete­lah menerima salinan petikan put­u­san. “Kami masih menunggu sa­li­nan petikan putusannya. Bah­kan, jaksa masih menunggu di Pengadi­lan Negeri Jakarta Se­latan untuk memastikan putusan itu sampai kepada kami,” katanya tadi malam.

Sekitar pukul 22.30 WIB, Ke­jaksaan Agung akhirnya membe­baskan empat tersangka itu.

Tapi, menurut Untung, pro­ses penyidikan kasus ini tidak ber­­henti. Soalnya, kata dia, sidang praperadilan tidak me­nguji materi perkara. “Pra­pe­ra­dilan hanya me­nguji tindakan for­mal penyidik, untuk memas­ti­k­an hak asasi se­seorang dilang­gar atau tidak. Jadi, penyidikan ka­sus ini jalan terus,” ucapnya.

REKA ULANG

Keok Setelah Perpanjang Masa Penahanan

Terhitung sejak 25 Novem­ber lalu, Kejaksaan Agung mem­per­panjang masa penahanan enam tersangka kasus Chevron. Tapi kemarin, empat hakim Pe­nga­dilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan Kejagung mem­be­baskan empat tersangka yang me­ngajukan praperadilan.

Enam tersangka yang masa penahanannya diperpanjang itu adalah Manajer Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) PT CPI Endah Rum­biyanti, Team Leader SLN Ka­bu­paten Duri Provinsi Riau PT CPI Widodo, Team Leader SLS Mi­gas PT CPI Kukuh Kertasafari, General Manajer SLS Operation PT CPI Bachtiar Abdul Fatah, Direktur Utama PT Sumigita Jaya Herlan dan Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri.

Sedangkan satu tersangka lain­nya, General Manager SLN Ope­ra­tion PT CPI Alexiat Tirta­wid­ja­ja keburu pergi ke Amerika Se­ri­kat dengan alasan mengurus sua­minya yang sakit di negeri pa­man sam itu. Jadi, Alexiat tidak ditahan seperti rekan-rekannya yang juga karyawan Chevron.

Nah, yang mengajukan per­mo­ho­nan praperadilan ke Penga­di­lan Negeri Jakarta Selatan adalah empat tersangka dari pihak Chev­ron, yakni Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh Kertasafari dan Bachtiar Abdul Fatah. Empat hakim tunggal yang menangani permohonan praperadilan empat ter­sangka itu, kemarin, mem­e­rin­tah­kan Kejagung membebaskan Endah, Widodo, Kukuh dan sus ini masih berjalan. “Kami ma­sih melengkapi berkas, mudah-mudahan segera selesai dan ma­suk penuntutan,” ujar bekas Ke­pala Kejaksaan Negeri Jaksel ini.

Menurut Direktur Penyidikan Ke­jaksaan Agung Adi Toega­ris­man, perpanjangan masa pen­a­ha­nan itu, dilakukan setelah Ke­jagung mengantongi penetapan perpanjangan masa penahanan dari Pengadilan Negeri Jaksel.

Proyek bioremediasi ini ber­lang­sung sejak 2003 sampai 2011 dan sudah dibayar  negara me­lalui BP Migas. Namun, K­e­jak­saan Agung menyangka proyek tersebut fiktif. Semula, Kejagung menaksir kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 200 miliar. Belakangan, menurut Adi, keru­gi­an negaranya hampir Rp 100 mi­liar versi hasil audit Badan Pe­ngawasan Keuangan dan Pe­m­ba­ngunan (BPKP). “Karena cost re­covery-nya dibayarkan pe­me­rin­tah, maka itu uang negara. Itu ke­rugian negara,” tegas Adi.

Pada Rabu, 14 November 2012, Kejaksaan Agung me­ne­ri­ma Laporan Audit BPKP. Jumlah kerugian negara berdasarkan hasil audit BPKP sebesar 9.990.210.93 Dolar Ame­rika Serikat.

Tapi, hingga BP Migas dibu­bar­kan melalui keputusan Mah­kamah Konstitusi (MK), tak ada satu pun tersangka dari BP Migas. Tujuh ter­sangka kasus ini, semuanya dari PT Chevron dan dua perusahaan pemenang lelang proyek bioremediasi itu, yakni PT Sumigita Jaya dan PT Green Pla­net Indonesia.

Sidang Praperadilan Tak Boleh Sentuh Substansi Perkara

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap menyam­paikan, jika putusan hakim yang menangani permohonan praperadilan empat tersangka kasus Chevron memasuk subs­tansi pekara, maka Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung bisa bergerak melakukan pe­meriksaan.

“Kalau praperadilan mema­su­ki substansi perkara, pasti ti­dak boleh. Mengapa hakim me­mutus memenangkan ter­sang­ka? Jika putusan itu menyentuh substansi perkara, KY dan MA dapat memeriksa para hakim tersebut. Tapi, jika para hakim itu tidak menyentuh substansi per­kara, ya tidak ada masalah,” katanya, kemarin.

Yahdil menambahkan, Ke­jak­saan Agung juga dapat me­lakukan upaya hukum atas pu­tusan tersebut. “Masih ada upa­ya hukum yang bisa dilakukan ke­jaksaan. Jangan sampai menghilangkan hasil-hasil penyidikan yang sudah mereka lakukan,” ujar anggota DPR dari Fraksi PAN ini.

Yahdil menambahkan, Ke­jak­saan Agung sudah se­pan­tas­nya berupaya keras agar pe­na­nganan kasus ini tidak berhenti. Jika menyerah begitu saja, me­nu­rutnya, masyarakat akan cu­riga, ada apa dengan Kejagung.

Soalnya, Kejagung awalnya tam­pak sangat bersemangat me­nangani kasus ini. Apalagi, hakim menyatakan tidak ber­wenang memerintahkan Kejak­sa­an Agung untuk meng­hen­ti­kan proses penyidikan. “Proses penyidikan bisa diteruskan,” katanya.

Kendati begitu, menurut Yah­dil, putusan hakim agar empat tersangka yang mengajukan praperadilan itu dibebaskan dari penahanan, mesti dihormati Kejaksaan Agung. “Putusan itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Namun, bila hal itu me­nyangkut substansi kasus, maka harus dilakukan upaya hukum,” ucapnya.

Berharap Tak Ada Konspirasi Di Balik Sidang Praperadilan

Sandi Ebenezer Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI

Anggota Majelis Pertimba­ngan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebenezer Situngkir menyam­pai­kan, kasus Chevron masih bisa ditangani Kejaksaan Agung hingga ke persidangan.

Apalagi, hakim yang mena­ngani permohonan praperadilan ini, menyatakan tidak ber­we­nang menghentikan penyidikan “Kejaksaan dapat secepatnya melimpahkan berkas ke Penga­dilan Tipikor,” ujar Sandi.

Tapi, menurut Sandi, jika tak kunjung membawa kasus ini ke penuntutan, maka publik akan mencurigai Kejaksaan Agung. “Kalau kejaksaan berlama-lama tidak menaikkan kasus ini ke pengadilan, publik akan curiga apakah ada permainan,” ujarnya.

Sandi pun berharap, tidak ada konspirasi di balik praperadilan ini. Sebab, menurutnya, pra­peradilan dapat juga dipandang sebagai konspirasi untuk mem­bebaskan para tersangka secara elegan, sesuai hukum.

“Praperadilan dilakukan un­tuk menguji secara formil, mi­salnya apakah penahanan di­la­kukan sesuai prosedur atau ti­dak. Dalam berbagai kasus, pe­ngadilan juga menilai syarat ma­teril, apakah penahanan di­la­kukan sesuai bukti yang cukup sesuai Pasal 21 junto Pasal 22 KUHAP,” terangnya.

Sandi menambahkan, mela­lui praperadilan, tersangka dan pengacaranya berupaya agar hakim membatalkan penahanan dan berujung pada penutupan kasus Chevron. Pengacara, lan­jutnya, menyampaikan tidak ada bukti yang cukup sebagai syarat penetapan tersangka dan penahanan.

“Kalau argumentasi itu yang disampaikan, semestinya tidak melalui praperadilan, melain­kan melalui proses pemeriksaan pokok perkara di pengadilan,” katanya. (rmol/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook