Riau Pos Online - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin memutuskan, penetapan tersangka dan penahanan empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia oleh Kejaksaan Agung tidak sah. Hakim juga memerintahkan Kejagung membebaskan empat tersangka kasus dugaan korupsi proyek pemulihan lahan (bioremediasi) tambang minyak PT Chevron itu
Dalam sidang yang digelar serentak di empat ruang sidang berbeda di PN Jaksel, empat hakim tunggal yang menangani permohonan praperadilan empat tersangka itu, memutuskan untuk menerima sebagian permohonan.
Empat hakim itu yakni, hakim M Samiadji untuk sidang pemohon Widodo, hakim Suko Harsono untuk sidang pemohon Bachtiar Abdul Fatah, Hakim Haryono untuk sidang pemohon Kukuh Restafari dan hakim Ari Jiwantara untuk sidang pemohon Endah Rumbiyanti.
Dalam putusannya, hakim Ari Jiwantara menyatakan, penetapan tersangka dan penahanan terhadap Endah tidak sah, karena tidak cukup bukti dan tidak sesuai KUHAP. Lantaran itu, Ari memerintahkan Kejagung membebaskan Endah.
“Memerintahkan termohon untuk membebaskan pemohon, membayar ganti rugi kepada pemohon sebesar Rp 1 juta, memulihkan hak-hak pemohon serta harkat martabatnya. Menghukum termohon membayar biaya praperadilan,” tegasnya.
Begitu pula hakim Suko Harsono dalam pertimbangannya menyebutkan, penetapan tersangka dan penahanan terhadap Bachtiar tidak sah. “Memerintahkan kepada termohon untuk membebaskan tersangka Bachtiar Abdul Fatah dari tahanan, seketika setelah putusan ini dibacakan,” tandasnya.
Namun, menurut Suko, hakim tidak berwenang menghentikan penyidikan. “Untuk menghentikan penyidikan, bukan merupakan ruang lingkup materi praperadilan, sehingga terhadap permohonan ini harus dikesampingkan dan ditolak,” tandasnya.
Putusan serupa dikeluarkan hakim M Samiadji yang menangani permohonan praperadilan Widodo. Menurut Samiadji, penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan penyidik Pidsus Kejagung terhadap Widodo tidak didasarkan alat bukti yang cukup, sehingga tidak sah.
Menurutnya, penahanan dapat dilakukan penegak hukum berdasarkan alat bukti yang cukup, sesuai Pasal 183 KUHAP. “Misalnya, ada dua saksi, ada hasil audit. Di berkas tidak ada, tidak diajukan semua, sehingga kami anggap itu tidak cukup,” kata Samiadji.
Selama sidang praperadilan, lanjut Samiadji, pihak Kejagung tidak mampu menunjukkan bukti-bukti kuat yang menjadi acuan penahanan tersangka. “Termohon tidak ajukan bukti-bukti lain yang dianggap memenuhi Pasal 183 KUHAP itu. Jadi, karena penahanan tidak didasarkan pada alat bukti yang cukup, maka penahanan itu harus dinyatakan tidak sah,” katanya.
Putusan serupa juga diketuk hakim Haryono yang menangani permohonan praperadilan tersangka Kukuh Restafari.
Setelah empat hakim mengeluarkan putusan itu, kuasa hukum empat tersangka tersebut, Maqdir Ismail meminta Kejagung menghentikan penyidikan kasus ini. “Kasus ini harus dihentikan, karena alasan mereka dijadikan tersangka itu tidak ada,” kata Maqdir seusai persidangan di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, kemarin.
Maqdir mengakui, hakim tidak menerima permohonan empat karyawan Chevron agar Kejagung menghentikan penyidikan kasus ini. Namun, katanya, hakim menyatakan penetapan dan penahanan empat tersangka itu tidak sah, sehingga penyidikan harus digugurkan.
“Kalau tidak sah jadi tersangka, penyidikannya juga tidak sah. Hemat saya, kasus ini harus ditutup, kecuali kejaksaan punya tersangka baru. Menurut hakim, penetapan tersangka pada empat orang ini tidak sah. Karena tidak ada tersangka, tidak ada perkara pidana,” tandasnya.
Sementara itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyampaikan, Kejagung menghormati putusan hakim dan akan melaksanakannya setelah menerima salinan petikan putusan. “Kami masih menunggu salinan petikan putusannya. Bahkan, jaksa masih menunggu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memastikan putusan itu sampai kepada kami,” katanya tadi malam.
Sekitar pukul 22.30 WIB, Kejaksaan Agung akhirnya membebaskan empat tersangka itu.
Tapi, menurut Untung, proses penyidikan kasus ini tidak berhenti. Soalnya, kata dia, sidang praperadilan tidak menguji materi perkara. “Praperadilan hanya menguji tindakan formal penyidik, untuk memastikan hak asasi seseorang dilanggar atau tidak. Jadi, penyidikan kasus ini jalan terus,” ucapnya.
REKA ULANG
Keok Setelah Perpanjang Masa Penahanan
Terhitung sejak 25 November lalu, Kejaksaan Agung memperpanjang masa penahanan enam tersangka kasus Chevron. Tapi kemarin, empat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan Kejagung membebaskan empat tersangka yang mengajukan praperadilan.
Enam tersangka yang masa penahanannya diperpanjang itu adalah Manajer Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) PT CPI Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri Provinsi Riau PT CPI Widodo, Team Leader SLS Migas PT CPI Kukuh Kertasafari, General Manajer SLS Operation PT CPI Bachtiar Abdul Fatah, Direktur Utama PT Sumigita Jaya Herlan dan Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri.
Sedangkan satu tersangka lainnya, General Manager SLN Operation PT CPI Alexiat Tirtawidjaja keburu pergi ke Amerika Serikat dengan alasan mengurus suaminya yang sakit di negeri paman sam itu. Jadi, Alexiat tidak ditahan seperti rekan-rekannya yang juga karyawan Chevron.
Nah, yang mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah empat tersangka dari pihak Chevron, yakni Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh Kertasafari dan Bachtiar Abdul Fatah. Empat hakim tunggal yang menangani permohonan praperadilan empat tersangka itu, kemarin, memerintahkan Kejagung membebaskan Endah, Widodo, Kukuh dan sus ini masih berjalan. “Kami masih melengkapi berkas, mudah-mudahan segera selesai dan masuk penuntutan,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jaksel ini.
Menurut Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, perpanjangan masa penahanan itu, dilakukan setelah Kejagung mengantongi penetapan perpanjangan masa penahanan dari Pengadilan Negeri Jaksel.
Proyek bioremediasi ini berlangsung sejak 2003 sampai 2011 dan sudah dibayar negara melalui BP Migas. Namun, Kejaksaan Agung menyangka proyek tersebut fiktif. Semula, Kejagung menaksir kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 200 miliar. Belakangan, menurut Adi, kerugian negaranya hampir Rp 100 miliar versi hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Karena cost recovery-nya dibayarkan pemerintah, maka itu uang negara. Itu kerugian negara,” tegas Adi.
Pada Rabu, 14 November 2012, Kejaksaan Agung menerima Laporan Audit BPKP. Jumlah kerugian negara berdasarkan hasil audit BPKP sebesar 9.990.210.93 Dolar Amerika Serikat.
Tapi, hingga BP Migas dibubarkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), tak ada satu pun tersangka dari BP Migas. Tujuh tersangka kasus ini, semuanya dari PT Chevron dan dua perusahaan pemenang lelang proyek bioremediasi itu, yakni PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia.
Sidang Praperadilan Tak Boleh Sentuh Substansi Perkara
Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap menyampaikan, jika putusan hakim yang menangani permohonan praperadilan empat tersangka kasus Chevron memasuk substansi pekara, maka Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung bisa bergerak melakukan pemeriksaan.
“Kalau praperadilan memasuki substansi perkara, pasti tidak boleh. Mengapa hakim memutus memenangkan tersangka? Jika putusan itu menyentuh substansi perkara, KY dan MA dapat memeriksa para hakim tersebut. Tapi, jika para hakim itu tidak menyentuh substansi perkara, ya tidak ada masalah,” katanya, kemarin.
Yahdil menambahkan, Kejaksaan Agung juga dapat melakukan upaya hukum atas putusan tersebut. “Masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan kejaksaan. Jangan sampai menghilangkan hasil-hasil penyidikan yang sudah mereka lakukan,” ujar anggota DPR dari Fraksi PAN ini.
Yahdil menambahkan, Kejaksaan Agung sudah sepantasnya berupaya keras agar penanganan kasus ini tidak berhenti. Jika menyerah begitu saja, menurutnya, masyarakat akan curiga, ada apa dengan Kejagung.
Soalnya, Kejagung awalnya tampak sangat bersemangat menangani kasus ini. Apalagi, hakim menyatakan tidak berwenang memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menghentikan proses penyidikan. “Proses penyidikan bisa diteruskan,” katanya.
Kendati begitu, menurut Yahdil, putusan hakim agar empat tersangka yang mengajukan praperadilan itu dibebaskan dari penahanan, mesti dihormati Kejaksaan Agung. “Putusan itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Namun, bila hal itu menyangkut substansi kasus, maka harus dilakukan upaya hukum,” ucapnya.
Berharap Tak Ada Konspirasi Di Balik Sidang Praperadilan
Sandi Ebenezer Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI
Anggota Majelis Pertimbangan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebenezer Situngkir menyampaikan, kasus Chevron masih bisa ditangani Kejaksaan Agung hingga ke persidangan.
Apalagi, hakim yang menangani permohonan praperadilan ini, menyatakan tidak berwenang menghentikan penyidikan “Kejaksaan dapat secepatnya melimpahkan berkas ke Pengadilan Tipikor,” ujar Sandi.
Tapi, menurut Sandi, jika tak kunjung membawa kasus ini ke penuntutan, maka publik akan mencurigai Kejaksaan Agung. “Kalau kejaksaan berlama-lama tidak menaikkan kasus ini ke pengadilan, publik akan curiga apakah ada permainan,” ujarnya.
Sandi pun berharap, tidak ada konspirasi di balik praperadilan ini. Sebab, menurutnya, praperadilan dapat juga dipandang sebagai konspirasi untuk membebaskan para tersangka secara elegan, sesuai hukum.
“Praperadilan dilakukan untuk menguji secara formil, misalnya apakah penahanan dilakukan sesuai prosedur atau tidak. Dalam berbagai kasus, pengadilan juga menilai syarat materil, apakah penahanan dilakukan sesuai bukti yang cukup sesuai Pasal 21 junto Pasal 22 KUHAP,” terangnya.
Sandi menambahkan, melalui praperadilan, tersangka dan pengacaranya berupaya agar hakim membatalkan penahanan dan berujung pada penutupan kasus Chevron. Pengacara, lanjutnya, menyampaikan tidak ada bukti yang cukup sebagai syarat penetapan tersangka dan penahanan.
“Kalau argumentasi itu yang disampaikan, semestinya tidak melalui praperadilan, melainkan melalui proses pemeriksaan pokok perkara di pengadilan,” katanya. (rmol/jpnn)