Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau
Untuk mencari pembenaran judul tulisan di atas, konsep David E Apter berikut ini bisa menjadi landasan teorinya. “Politik dan seks mempunyai kesamaan yaitu dalam masyarakat yang sopan dan beradab politik dan seks disingkirkan, tetapi dalam keadaan bagaimanapun keduanya tetap diperlukan.” Pernyataan ini memberi indikasi bahwa setiap proses politik pasti tidak sopan dan cenderung melanggar aturan yang telah disepakati. Ketidaksopanan dalam politik itu biasanya diwujudkan dalam bentuk memanipulasi.
Karena itu, boleh dikatakan tidak ada peristiwa politik tanpa manipulasi. Dalam konteks Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang dilaksanakan bersamaan, hampir semua elemen bisa dimanipulasi. Mulai dari data kependudukan untuk proses pengajuan daftar calon sementara pemilih, daftar calon tetap pemilih, verifikasi partai politik di KPU, seleksi berkas calon anggota legislatif, penentuan calon anggota legislatif, memoles wajah dalam foto untuk diobral di pinggir jalan, politik pencitraan, iklan politik, survei popularitas partai atau politisi, bahasa kampanye, sistem pemilu, sampai pada tahap penghitungan suara.
Politik tanpa manipulasi laksana mobil yang melaju tanpa sopir, kalau tidak terguling pasti susah mencapai tujuan. Kalau memutar memori pada pemilu tahun 2004, kita juga akan menemukan data pendukung judul di atas. Seorang tokoh sekaliber Nurcholis Majid yang diusung oleh beberapa kelompok produktif (agamawan, budayawan, cendekiawan) untuk ikut konvensi Partai Golkar tahun 2004, dengan tegas menyatakan tidak bersedia mengikuti konvensi.
Tidak ada alasan jelas kenapa Cak Nur begitu biasa disapa ragu mengikuti konvensi, tetapi bisa jadi Cak Nur melihat kalau baju moralitas dan idealisme yang dipakai memasuki wilayah konvensi pasti mendapatkan banyak rintangan besar dari kelompok pragmatis, yang akan memanipulasi (menghalalkan segala cara untuk menang).***