MELIHAT dan merasakan atmosfir di hari pencoblosan pemilu 17 April 2019 lalu, jadi teringat pada laporan headline di beberapa media yang meliput pemilihan presiden Amerika Serikat 2008 yang pertama kali memunculkan Barack Obama sebagai kontestan.
Tingkat partisipasi rakyat Amerika begitu tinggi sebagai akibat efek Obama yang begitu kuat menarik perhatian rakyat Amerika Serikat yang menginginkan perubahan. Semua TPS dipenuhi pemilih yang berjejer antre untuk mencoblos.
Pemilihan Presiden Amerika Serikat yang berlangsung tanggal 4 November 2008 tersebut akhirnya memenangkan Barack Obama (Demokrat) yang mengalahkan saingan terkuatnya dari Republik, John McCain.
Hal ini terasa juga pada pemilu presiden 17 April 2019. Beberapa pengamat menjelaskan, sejak Orde Baru sampai Orde Reformasi belum pernah melihat antusiasme rakyat begitu tinggi antre di TPS ingin menggunakan hak suaranya memilih pemimpinnya.
Dibanding Pemilu 2014 yang kandidat capresnya sama, Pemilu 2019 jauh lebih besar antusiasme rakyat ingin terlibat langsung memilih pemimpinnya. Nampak dan terasa ada gerakan rakyat yang semakin membesar menginginkan jagoannya menang.
Belum lagi jika ditilik dari sisi musibah yang menimpa petugas pelaksana Pemilu yang sudah tercatat ratusan meninggal dunia dan ribuan yang jatuh sakit karena kelelahan. Pemilu serentak tahun ini memang begitu dahsyat menghentak dan mengoyak-ngoyak. Menghitung suara di kecamatan banyak menorehkan catatan panjang. Begitupun realitas politik pemilih dan yang dipilih menampilkan rona dunia demokrasi yang tak pasti.
Antusiasme rakyat dari kota sampai desa-desa terpencil laksana gelombang yang terus membesar memadati TPS. Kedua kandidat capres (01 dan 02) yang bertarung terus menerus mengeluarkan narasi untuk membangkitkan semangat para pendukungnya, hingga akhirnya tidak terhindarkan terpolarisasi menjadi dua kutub yang berbeda. Polarisasi pendukung terus berlanjut sebelum dan sesudah hari pencoblosan, yang kemudian saling melempar narasi yang mengklaim kubunya keluar sebagai pemenang.
Bersamaan dengan itu, pasukan tim, relawan para caleg juga salah satu penyumbang membuat gairah rakyat memuncak untuk menyalurkan haknya di bilik suara. Mereka datang terpaksa maupun sukarela, baik karena faktor politik identitas, idealis hingga bau amis B3 (berani bayar berapa).
Pun yang pengin dipilih (caleg) mencuri hati pemilih dengan aneka sisat dan taktik berbeda warna. Ada yang mengamalkan politik bersih tanpa money politik tapi juga sudah menjadi rahasia umum lebih banyak yang menebar ranjau politik menghajar dengan serangan fajar. Pengalaman penulis mengikuti 4 kali pesta pemilu terus terang pemilu 2019 lah tercatat sebagai pemilu paling kental nuansa transaksional. Pengalaman memang sangat mahal tapi setimpal minimal untuk sebuah tulisan untuk beramal.
Kembali saling klaim kemenangan, saat ini kubu 01 yang berpatokan pada hasil QC lembaga survei yang memenangkannya sumringah mengumumkan kemenangan sementara berdasarkan hasil hitungan cepat. Selang beberapa waktu, kubu 02 juga langsung mengcounternya dengan memproklamirkan kemenangan berdasarkan data real count. Dalam situasi dimana masing- masing kubu menyatakan dirinya sebagai pemenang, tentu secara langsung membuat para pendukung semakin terbelah.
Kubu 01 yang berpatokan kepada hasil hitungan cepat 12 lembaga survei terus mencari “pembenaran” QC, sementara kubu 02 yang merasa ada kejanggalan dalam hasil hitungan cepat ditambah banyak temuan dan kesalahan input data KPU yang dinilai kubu 02 menjurus kecurangan viral di media sosial, tentu terus berjuang mencari “kebenaran”.
Jadi pasca hari pencoblosan terjadi pertarungan antara kelompok yang “mencari pembenaran” hasil hitungan cepat, dengan kelompok yang terus berjuang “mencari kebenaran”. Bagi pencari kebenaran, argumen yang dipakai adalah kami tidak menuntut KPU sebagai wasit untuk memenangkan 02, kami hanya menuntut KPU berlaku jujur dan bertindak benar. Kalau kemudian KPU sudah bersikap jujur dan adil, siapapun yang dinyatakan menjadi pemenang itulah presiden pilihan rakyat.
Apakah kelompok yang mencari pembenaran atau kelompok yang mecari kebenaran menjadi pemenang? Kita tunggu saja takdir demokrasi Indonesia. Kata orang bijak, orang yang mencari pembenaran membutuhkan ratusan kebohongan, sementara orang yang mencari kebenaran hanya butuh satu kejujuran.***