Inhu: Tanpa Dibiayai Pusat, Menuju Kurikulum 2013

Riau | Sabtu, 28 September 2013 - 09:26 WIB

RENGAT (RP) - Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan.

Apabila dirinci secara lebih mendetail terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu peranan konservatif, peranan kreatif, dan peranan kritis/evaluatif.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

1. Peranan Konservatif

Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generas muda, dalam hal ini para siswa. Peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan kurikulum yang berorientasi ke masa lampau.

2. Peranan Kreatif

Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan keperluan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang.

3. Peranan Kritis dan Evaluatif

Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang.

Ketiga peranan kurikulum tersebut tentu saja harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum persekolahan menjadi tidak optimal.

Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, di antaranya: guru, kepala sekolah, pengawas, orangtua, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait tersebut idealnya dapat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang diterapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Persamaan dan Perbedaan Kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013

Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan atau sekolah.

Departemen Pendidikan Nasional mengharapkan paling lambat tahun 2009/2010, semua sekolah telah melaksanakan KTSP.

Penyusunan KTSP yang dipercayakan pada masing-masing tingkat satuan pendidikan ini hampir senada dengan prinsip implementasi KBK (kurikulum 2004) yang disebut pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (KBS).

Prinsip ini diimplementasikan untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip Pengelolaan KBS ini mengacu pada kesatuan dalam kebijakan dan keberagamaan dalam pelaksanaan.

Yang dimaksud dengan kesatuan dalam kebijakan ditandai dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat dokumen KBK yang sama dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Sementara kurikulum 2013 secara falsafah pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.

Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi.

Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya.

Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi di antaranya sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.    

Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan tercapai.

Perencanaan Pembelajaran

Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan keperluan peserta didik.

Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan keperluan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.

Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.

Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup metodologi pembelajaran. Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan.

Sebagai contoh, dalam kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai yang ditugaskan kepadanya.

Kompetensi Inti

Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya.

Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.

Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan.

Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas. Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga multidimensi.

Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan.

Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.

Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu.

Kompetensi inti merupakan keperluan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat menjadi kompetensi inti.

Kedudukan Bahasa

Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai.

Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berpikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berpikir abstrak.

Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.

Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain.

Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran bahasa Indonesia.

Dengan cara ini pula, pembelajaran bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran bahasa Indonesia kurang diminati pendidik dan peserta didik.

Melalui pembelajaran bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis.(adv)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook