Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Minas
Setiap penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah selalu muncul perbedaan. Pertanyaan ini juga muncul saat Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Dr KH Ali Mustafa Yakub memberikan tausiyah usai salat Jumat di Masjid Al Fattah Minas, Jumat (28/7).
‘’Perbedaan itu sebenarnya tidak perlu terjadi,’’ ujar KH Ali Mustafa Yakub menanggapi pertanyaan itu dalam safari Ramadan Chevron.
Hadir pada kesempatan itu Presiden Direktur Chevron, Abdul Hamid Batubara yang baru saja membagikan bantuan untuk anak yatim, duafa dan relawan masjid. Menurutnya ulama sudah pernah menginisiatif pertemuan di bulan Desember tanggal 14-16 tahun 1984.
Pada saat itu dikumpulkan seluruh komisi fatwa MUI plus pimpinan-pimpinan organisasi Islam, pimpinan pesantren, pimpinan perguruan tinggi Islam. Jumlahnya ada 400 orang.
Pertemuan sepakat saat itu bahwa untuk mengakhiri perbedaan penetapan awal Ramadan, Idul Fitri dan Zulhijjah mengacu pada empat butir keputusan.
Pertama, yang berhak menetapkan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah di NKRI adalah Menteri Agama RI. Kedua, penetapan oleh Menag RI menggunakan metode hisab dan rukyat.
Ketiga, umat Islam wajib menaati keputusan Menag RI dalam kapasitasnya sebagai ulil amri. Semua sepakat tak ada yang menentang. Hasil ini kemudian dituangkan dalam peraturan negara No 2/1984.
Namun, lanjutnya, dalam praktik hingga 2011 orang Indonesia menetapkan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah menggunakan 9 cara.
‘’Padahal Rasulullah cuma mengajarkan dua cara saja. Berpuasalah karena melihat hilal (bulan), berlebaranlah karena melihat hilal dan beribadah hajilah karena melihat hilal. Kalau tidak kelihatan itu hilal maka genapkanlah hitungan bulan berjalan menjadi 30 hari. Itu saja yang diajarkan Rasul,’’ ujarnya.
Dua cara pertama seperti yang diajarkan Rasul yakni rukyat (melihat hilal) dan ikmal (menggenapkan) hitungan bulan bila hilal tak terlihat.
Cara ketiga, ada teori namanya wujudul hilal. Menurut ilmu astronomi, harusnya bulan sudah keluar meskipun 1 derajat. Hanya saja wujudnya belum kelihatan mata manusia. Mereka yang percaya teori ini tetap puasa meski tak melihat bulan. Keempat, teori imkanul rukyat (kemungkinan dapat dilihat). Bulan kemungkinan dapat dilihat lewat ilmu falak karena seharusnya sudah terbit. Meski tak terlihat mata mereka tetap menganggap puasa sudah masuk.
Kelima, ada pula yang menetapkan Ramadan sesuai dengan perasaan gurunya saja. Sebagian komunitas ini ada di Sumatera Barat.
‘’Makanya tak heran selisihnya bisa dua hingga tiga hari dari waktu yang sebenarnya,’’ ujar Ali Mustafa.
Keenam, cara yang dipakai sebuah komunitas di Sulawesi Selatan yakni dengan melihat tanda-tanda alam.
Menentukan awal bulan dengan datang ke pantai dan melihat fenomena alam. Kalau air pasang berarti hitungan bulan sudah berganti. Ketujuh, cara yang dipakai komunitas Desa Tambelak, Kabupaten Jombang, Jatim.
Teori mereka tidak boleh ada dua khutbah dalam satu hari. Maka jika hari raya jatuh hari Jumat mereka membuat pilihan bisa maju sehari (Kamis) atau mundur sehari (Sabtu). ‘’Pokoknya tidak boleh hari Jumat,’’ ujarnya.
Kedelapan, dipakai oleh sebuah komunitas di Kabupaten Kebumen Jateng. ‘’Bila gurunya berkata bahwa ia tadi malam berjumpa dengan Rasulullah SAW dan mengatakan bahwa besok puasa maka puasalah mereka semua,’’ ujar Ali Mustafa menjelaskan.
Kesembilan, sebagian komunitas di Jakarta yakni mengikuti Makkah. Kapan Makkah puasa maka mereka ikut kapan Makkah lebaran mereka ikut.
Padahal, lanjutnya, mufti besar Makkah Syech Abdullah bin Baz yang wafat tahun 1999 mengatakan bahwa barang siapa yang menetapkan pergantian bulan tidak menurut rukyat dan ikmal maka mereka termasuk orang yang mengada-adakan syariat baru dalam agama Islam.***