Catatan JARIR AMRUN
Pagi itu, Senin (20/8). Penulis dan keluarga bersiap-siap pulang kampung menggunakan pesawat terbang.
Maklum pertama kalinya pulang kampung dengan pesawat, biasanya nyetir mobil sendiri selama 14 jam dari Pekanbaru ke Siantar. Karena tak biasa, banyak hal yang unik dialami selama perjalanan.
‘’Aduh, handphone ketinggalan,’’ ujar penulis. Handpone ada di mobil dan mobil sudah meluncur jauh. Tanpa pikir panjang, penulis kejar mobil itu, dengan napas ngos-ngosan akhirnya handphone pun didapatkan.
Memasuki Bandara Sultan Syarif Kasim II, penulis pikir sudah aman, karena sudah sampai di bandara. Namun saat check in, ada yang salah. Kebetulan penulis tak punya KTP asli, dari rumah makanya membawa paspor, tapi yang terbawa buku nikah.
Langsung saja menelepon saudara untuk membawakan paspor ke bandara. Tapi karena waktu sudah mepet, tinggal penulis dan keluarga yang belum check in, pihak penerbangan pun membolehkan berangkat.
Anak-anak pun bersorak gembira bisa berangkat ke Medan dengan menggunakan pesawat. Rasa gembira ini tergambar di wajah mereka, karena sudah dua tahun mereka menabung di sekolah untuk membeli tiket pesawat. Ternyata untuk naik pesawat perlu pengorbanan panjang.
Karena gembira, selama di pesawat pun tidak cemas. Saat akan take off, anak-anak malah kesenangan, karena pesawatnya mulai terbang. ‘’Abah-abah, pesawatnya mulai terbang,’’ ujar Najwa, anak sulung penulis yang biasa dipanggil Kak Long.
Wildan dan Haikal pun senang, dia tidak takut naik pesawat, sementara penulis sendiri ada rasa khawatir saat akan take off, tetapi Alhamdulillah semuanya berjalan lancar.
Demikian juga saat pesawat landing di Bandara Polonia, wajah anak-anak nampak ceria tidak takut sedikit pun. ‘’Abah, lihat rumah-rumah kecil di bawah,’’ ujar Wildan (4).
Dari Bandara Polonia, penulis dan keluarga langsung menuju Istana Maimon. Pada hari kedua Idul Fitri, ternyata Istana Maimon sudah ramai dikunjungi warga.
Banyak hal yang menarik selama di Istana Maimon ini, pihak pengelola istana menawarkan jasa layanan foto menggunakan pakaian yang mirip raja.
Untuk menyewa baju pengunjung dikenakan Rp20 ribu, kemudian untuk biaya foto dan cetaknya Rp10 ribu, jika memoto dengan kamera sendiri tidak bayar.
Para pengunjung juga mendapat panduan dari pihak pengelola istana.
Pemandu menjelaskan benda-benda yang pernah digunakan Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alam, sultan Deli IX (1873-1924), yakni sultan yang berhasil mengundang investor untuk membangun Deli dengan perkebunan tembakau deli, sehingga Belanda mendatangkan kuli kontrak yang berasal dari Cina, India dan Jawa.
Dengan pembangunan perkebunan ini, makanya Deli pun berkembang pesat menjadi kota besar.
Di Istana Maimon terpampang foto-foto sultan-sultan Deli beserta keluarga. Tapi sayang, pihak pengelola istana tidak menampilkan foto-foto perkembangan kota Medan, padahal kalau foto-foto di pajang di ruangan lain di istana ini, maka para pengunjung akan mendapatkan pemahaman tentang perkembangan Kota Medan.
Usai mengunjungi Istana Maimon, penulis dan keluarga menuju Masjid Raya Al-Maksum Medan, jumlah pengunjung masjid ini pun banyak. Selain menunaikan Salat Zuhur, para pengunjung pun banyak yang ingin foto di masjid megah ini. Masjid ini dibangun tahun 1906 masa kesultanan Deli dan arsiteknya bernama TH van Erp.
Masjid ini masih utuh seperti pertama kali dibangun. Tidak ada perubahan. Tak jauh dari Masjid Raya, terlihat taman dan kolam raja, para penjual makanan pun berjejer, sehingga mempermudah pengunjung untuk mencari makanan.
Pengelolaan Istana Maimon dan Masjid Raya Al-Maksum ini layak ditiru oleh Pemprov Riau, karena di satu tempat ini tersedia beragam layanan.
Seperti di Istana Siak, alangkah baiknya ada layanan foto dengan baju kebesaran yang mirip sultan atau pembesar istana lainnya seperti hulubalang, sehingga mereka pun bangga dengan kejayaan Melayu di masa lalu. Kejayaan ini pun akan tetap terasa hingga kini, walau hanya sekadar foto di istana.***