PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia memasuki era baru. UUCK merupakan sebuah terobosan yang akan meningkatkan investasi dan kegiatan usaha dengan tetap menjaga prinsip-prinsip wawasan lingkungan dan keberlanjutan.
"Dalam kerangka kerja memastikan kelestarian hutan, kesehatan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan hutan, maka memerlukan standar berupa baku dan mutu mencakup kualitas lingkungan, ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pengelolaan hutan berkelanjutan," ujar Plt Sekretaris Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr Nur Semedi SPi MP saat membuka Focus Group Discussion (FGD) Identifikasi Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Lingkup Provinsi Riau, Sumatera Barat, Jambi dan Kepulauan Riau di Premiere, Kamis (25/11).
Dikatakan Semedi, UUCK menjadi dasar baru pemerintah untuk mengatur pembangunan ekonomi termasuk dalam meningkatkan investasi melalui proses perijinan yang lebih sederhana namun kuat. UUCK juga menjadi pendukung kegiatan litbang dan inovasi, melindungi usaha kecil dan menengah, antara lain dengan memberikan dukungan petani kecil, penyelesaian konflik lahan/tenurial karena sengketa peraturan dan mempromosikan pengambilan keputusan-keputusan yang dilakukan secara integratif dan berwawasan lingkungan.
Ada empat prioritas pengendalian lingkungan dan pengendalian hutan dalam konteks implementasi standard yaitu pemetaan pelaku usaha dan entitas yang aktivitasnya berdampak pada lingkungan, percepatan inventarisasi jenis standar untuk pengendalian lingkungan, pembagian peran dengan entitas standardisasi secara nasional, membangun standar instrumen untuk mengukur keberhasilan/ kegagalan pengendalian dampak lingkungan dan pengendalian dampak usaha hutan dan kehutanan.
Sementara itu, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH Kuok) Priyo Kusumedi SHut MP menjelaskan, FGD ini dilaksanakan selama 2 hari dan didesain secara hybrid: kombinasi faktual dan virtual dengan mengutamakan physical distancing dan protokol Covid-19. "Kegiatan FGD ini dilakukan dalam bentuk pemberian materi oleh narasumber dan dilanjutkan dengan diskusi. Tema yang diangkat dalam FGD ini adalah Standardisasi Pemanfaatan Hutan dan Standardisasi Pengelolaan Kualitas Lingkungan Hidup. Melalui FGD ini diharapkan dapat diperoleh informasi pelaku usaha, pemetaan standar instrumen LHK dan pemetaan kebutuhan standar instrumen LHK," ujar Priyo.
Dikatakan Priyo, melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSI LHK) dibentuk sebagai wadah yang memegang peranan kunci dalam membangun standar berbasis sains dan teknologi dalam mengharmonisasikan aspek kemudahan berusaha di sektor kehutanan dan aspek pengelolaan hutan secara berkesinambungan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, Makmun Murod mengatakan, BSI LHK berfungsi untuk melakukan pengendalian standar instrumen dan peralatan LHK. BSI LHK juga memastikan standar yang telah dibangun tersebut diimplementasikan oleh para stakeholder bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Hal ini penting agar tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan akan semakin baik dan berkelanjutan di tengah tantangan pengelolaan lingkungan hidup dan kawasan hutan yang semakin kompleks, dan dengan berpedoman pada UUCK.
BSILHK merupakan paradigma baru dalam tata kelola LHK menjamin keberlanjutan sumber daya alam, ekonomi dan keberlanjutan sosial. Pembentukan BSILHK diharapkan dapat membangun standar sebagai instrumen penyederhanaan proses perizinan berusaha dan investasi LHK.(hen)