EKONOMIKA

Catatan Kecil untuk RAPBN 2019

Riau | Kamis, 26 Juli 2018 - 11:26 WIB

Catatan Kecil untuk RAPBN 2019

Oleh: Dr H Irvandi Gustari, Dirut Bank Riaukepri

FOKUS pada upaya untuk memperkuat pelaksanaan program prioritas, terutama peningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui penguatan skill dan produktivitas. Itulah yang diminta Presiden RI Joko Widodo dalam penyusunan RAPBN 2019.  Niat dan rencana ini memang patut kita sambut baik secara bersama. Sebab, sejumlah kejadian dan peristiwa dalam beberapa tahun terakhir ini, ada kesan selalu kalah dengan negara lain yang serumpun. Seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam hal kompetensi dan tingkat produktivitas maupun dalam hal daya saing.
Baca Juga :BRK Syariah Serahkan Bantuan Bencana Banjir di Rokan Hulu

Tentunya fokus kepada peningkatan SDM ini diharapkan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang heboh serta gebyarnya hingar bingar, namun tetap saja tidak memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Bila melihat rating yang dikeluarkan sejumlah lembaga riset internasional dalam hal berbagai parameter, di antaranya Global Competitivenes Index. Contoh konkret yang harus dibenahi adalah pengelolaan skill melalui SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang dirasakan dikelola dengan pola SMU dan vokasi (diploma) yang rasanya dikelola dengan pola cara mengelola universitas. Ini terlihat sederhana, namun berdampak secara mendasar.

Bila boleh menyampaikan usulan terkait tingkat kesejahteraan nelayan dan dalam RAPBN 2019, harus menjadi prioritas juga. Karena sebagai negara maritim tentunya kita tidak bisa menerima dengan akal sehat, kehidupan para nelayan kita belum termasuk kategori sejahtera. Maka polemik mengenai pemberantasan illegal fishing dengan menenggelamkan kapal tidak menjadi solusi. Untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan harus dilakukan dengan secara bijak dan tidak asal tenggelamkan. Juga menyangkut kebijakan pelarangan 17 alat tangkap yang dikeluarkan. Pelarangan itu menyebabkan ekspor menurun, karena intensitas nelayan menangkap ikan menurun sekitar 40 persen.

Lanjut kita beralih kepada penerimaan migas, yang sebenarnya kita harus cari tahu dan pahami benar. Mengapa produksi minyak mentah terus menurun dengan dalih jumlah cadangan minyak yang makin menipis? Dan apakah itu sesungguhnya benar? Ini yang perlu kajian dan keterbukaan kepada para stakeholder. Kita tahu pada lima tahun sebelumnya produksi minyak mentah Indonesia mencapai 1,4 juta barel/hari dan sekarang ini tinggal 600 ribu–700 ribu barel/hari. Apa kita harus menyerah dengan adanya info tentang menipisnya cadangan minyak mentah di Indonesia?

Secara  data riset dari laporan Global Petroleum Survey 2016 yang dipublikasikan oleh Fraser Institute, ternyata Malaysia dinilai lebih menarik sebagai pilihan ladang investasi industri migas,  bila dibandingkan dengan Indonesia. Yang dijadikan responden dalam riset tersebut bahwa dilakukan survei kepada sejumlah eksekutif dan manajer industri migas dunia terkait kendala untuk berinvestasi pada eskplorasi dan fasilitas produksi migas, pada sejumlah negara di dunia.

Apa yang menjadi kendala di Indonesia? Walaupun yang dihimpun data tentang kendala apa saja, maka mencakup pajak yang tinggi, biaya regulasi pemerintah yang tinggi, ketidakpastian akan regulasi di industri hulu migas, dan juga terkait kekhawatiran akan kestabilan politik dan keamanan pekerja.

Dengan keterbatasan ruang pada artikel ini,  sebenarnya masih banyak yang ingin disampaikan  terkait ketangguhan dari mata uang rupiah. Mengacu kepada hukum pasar yang sangat sederhana yaitu  supply versus demand, sebenarnya bisa terjawab mengapa rupiah begitu mudah digoyang atau bergoyang bila ada isu sentimen kecil saja. Menguatkan rupiah sebenarnya tidaklah  begitu sulit. Tidak perlu pakai ilmu ekonomi makro, ekonomi mikro maupun ekonomi internasional.

Lalu bagaimana solusinya? Ya, kita harus kurangi keperluan dolar AS kita. Caranya? Jawabannya, ya kita harus jawab dulu, apakah kita memang perlu sebenarnya mengimpor besar, apa perlu kita mengimpor jagung/gula/garam/kedelai. Kesemuanya itu memerlukan dolar AS yang besar dan tambah lagi juga harus dijawab, apa perlu kita mengimpor minyak? Semoga catatan kecil pada artikel ini, bisa sebagai sekadar pencerahan bagi kita dan solusi harusnya kita cari bersama pula.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook