INTERUPSI

Duka Muslim Selandia Baru, Duka Muslim Dunia

Riau | Senin, 25 Maret 2019 - 09:47 WIB

Duka Muslim Selandia Baru, Duka Muslim Dunia

Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

RIAUPOS.CO -- Menyaksikan kebersamaan Jacinda Kate Laurell Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru dengan seluruh komponen warga menjaga warganya yang muslim melaksanakan salat Jumat (22/3), membuat dunia harus berkaca bagaimana menjaga toleransi. Deskripsi tolerensi secara bahasa berasal dari bahasa latin tolerare, toleransi berarti sabar dan menahan diri. Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya.

Namun tiba-tiba muslim sejagad menahan kesedihan yang tak terperikan sekaligus membuat tensi emosi tinggi mengingat kejadian  Jumat (15/3) lalu ketika terjadi penembakan membabi buta seorang teroris kepada jamaah seusai melaksanakan salat Jumat. Bak Rambo gila, nampak seorang pria berbadan kekar dibungkus jaket warna hitam dengan raut wajah menyimpan geram dan dendam memarkir mobil, lalu bergegas memasuki pekarangan sebuah masjid.

Dengan senapan otomatis di tangan, terus berjalan memasuki pintu utama masjid dan langsung memuntahkan peluru memberondong tubuh-tubuh tak berdosa yang baru saja selesai bersujud ke Sang Khaliq penciptanya. Ya Allah, kenapa saudara-saudara kami muslim begitu keji dibantai, apa salah mereka yang dengan tawadu membuang keangkuhan dan kesombongannya, lalu mencium bumi bersujud memohon rida dan ampunan-Mu. Haruskah umat muslim diam melihatnya?

Itulah drama penembakan selama enam menit di dua masjid di wilayah Christchurch Selandia Baru, Jumat (15/3) pukul 13.40 waktu setempat. Aksi brutal teroris seusai salat Jumat itu menewaskan 49 orang. Perincianya 41 orang meninggal di Masjid Al Noor, dan tujuh orang di Masjid Lindwood Ace, serta tiga korban ditemukan di luar masjid.

Peristiwa biadab di Selandia Baru ini benar-benar superkejam mengalahkan aksi terorisme selama ini. Betapa tidak! setan telah menguasai alam pikirannya, aksi pembantaiannya disiarkan secara langsung melalui jejaring sosial Facebook. Pembantaian superbiadab di dalam masjid ini, seketika menghapus stigma negatif selama ini yang selalu mengindentikkan setiap serangan terorisme di belahan dunia selalu di lakukan oleh kelompok Islam.

Sampai-sampai agama Islam disebut sebagai agama terorisme. Begitu pula pesantren-pesantren tempat mendidik santri-santri mengenal Tuhannya, dan bagaimana bersikap jujur, mengedepankan kebenaran, serta menyuarakan keadilan dalam menjalani kehidupan, disebut sebagai sarang terorisme.

Bahkan lebih sadisnya semua sekolah-sekolah berbasis Islam dicurigai sebagai tempat lahirnya pemikiran-pemikiran radikalisme yang memicu tumbuh suburnya benih-benih terorisme. Sebuah prasangka buruk yang selalu ditebarkan kaum kafir pembenci Islam. Aksi penembakan mematikan jamaah Jumat di Selandia Baru dilakukan oleh seorang saya katakan termasuk aliran Islamofobia berkebangsaan Australia berumur 28 tahun yang bernama Brenton Tarranf, dibantu dua orang temannya.

 Deskripsi Islamofobia adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan muslim. Istilah itu sudah ada sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi lebih populer setelah peristiwa serangan 11 September 2001. Mereka jelas bukan orang beragama Islam (nonmuslim atau kafir).

Fakta ini telah menampar muka orang-orang, kelompok, atau negara penguasa sekalipun yang selalu menyudutkan Islam sebagai agama yang memproduksi radikalisme dan terorisme. Fakta ini telah meludai muka siapa pun yang selalu mencurigai Islam (Islamofobia) sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Fakta ini telah mengusik kesadaran kemanusiaan bahwa radikalisme dan terorisme itu bukan milik Islam, karena  radikalisme dan terorisme tidak mengenal agama.

Selama satu dasawarsa terakhir, beberapa kali Islam disudutkan sebagai pemegang merek tunggal pelaku terorisme di muka bumi. Selama itu pula melalui berbagai tulisan dan pandangan saya selalu membantah tuduhan kaum liberalis barat itu. Bahwa radikalisme yang bisa menjadi benih subur tumbuhnya terorisme dengan menggunakan pendekatan semua agama, yang kemudian  menyimpulkan bahwa “radikalisme atau terorisme bukan produk agama, apalagi agama Islam”.

Merujuk istilah Islamofobia  kemudian mendapat justifikasi dari Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, yang menyoroti peristiwa biadab pembantaian brutal seusai salat Jumat kemarin di Selandia Baru. Menurutnya dengan kejadian itu, satu hal meyakinkan, “Terorisme tidak punya agama”. Dengan meminjam statement Imran Khan ini, sekali lagi secara spesifik menegaskan kepada kaum kafir “tidak ada hubungannya terorisme dengan Islam”.

Jadi berhentilah mengidentifikasi Islam sebagai biang radikalisme dan terorisme. Salah kaprah dan lebih parah jika diantara kita sesama muslim terjangkiti penyakit selalu curiga hanya karena perbedaan pilihan dalam ajang demokrasi.  Cukuplah Islamofbia hanya milik orang-orang kafir dan semoga mereka cepat sadar kembali ke jalan yang lurus, aamiin.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook