Membaca peristiwa kebelakang, di akhir musim panas tahun 1997, orang dikagetkan oleh dua fakta yang terjadi dalam waktu terpisah kurang dari sepekan, yaitu meninggalnya Putri Diana dan Bunda Teresa. Di permukaannya kedua wanita ini sangat berbkeda. Yang satu adalah putri yang jangkung, muda, serta glamour, dari Inggris, yang bergaul di kalangan atas. Yang satunya seorang penerima Hadiah Nobel Perdamaian, adalah seorang biarawati Katolik mungil yang sudah tua, lahir di Albania, yang melayani warga termiskin di Kalkuta, India.
Menjadi luar biasa karena dampak keduanya sangat mirip. Dalam jajak pendapat 1996 yang diterbitkan oleh harian Daily Mail di London, Putri Diana dan Bunda Teresa dianggap sebagai dua wanita paling peduli dan berpengaruh di dunia. Walaupun keduanya berasal, tumbuh, dan tinggal di lingkungan yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai visi dan misi yang sama dalam memaknai hidup.
Keduanya dinobatkan sebagai perempuan paling peduli dan berpengaruh di dunia ketika keduanya menentukan sasaran hidupnya menjadi aktor sosial (pelayan kemanusiaan). Bunda Teresa lebih memilih mengabdikan hidupnya dengan melayani orang-orang termiskin di Calcuta, sedangkan Putri Diana menentukan sasaran hidupnya melayani orang lain dengan mengumpulkan dana amal untuk pemberantasan penyakit yang banyak menyerang komunitas orang miskin di dunia.
Diana mulai mengusik hati orang untuk beramal demi riset terhadap AIDS, pemeliharaan orang yang terkena lepra dan larangan menggunakan ranjau darat dalam peperangan. Sahabat pembelajar, pengaruh Putri Diana yang begitu besar, bukan ketika menjadi putri kerajaan yang bergelar bangsawan mendampingi suaminya Pangeran Charles pewaris tahkta kerajaan Inggris. Bukan ketika semua kemewahan membungkus tubuhnya atau ketika pengawal kerajaan mengiringi langkahnya, tetapi ketika dia fokus menjadi pelayan kemanusiaan.
Pada tahun 1996 ketika diceraikan oleh Pangeran Charles, seketika ia kehilangan gelar kebangsawanannya, tetapi justru pengaruhnya semakin meningkat sementara pengaruh mantan suami, serta para saudara iparnya yang hidup di lingkungan istana justru menurun pamornya. Ironisnya, bahkan setelah meninggal pun Diana terus mempengaruhi orang lain.
Ketika pemakamannya disiarkan langsung di televisi, acaranya diterjemahkan ke dalam empat puluh bahasa di dunia. NBC memperkirakan bahwa jumlah total penontonnya mencapai 2,5 miliar jiwa, lebih dari dua kali lipat dari orang yang menonton upacara pernikahannya.
Dari pengalaman hidup dua wanita berpengaruh dia atas, maka minimal ada dua pelajaran yang perlu dimaknai sebagai caleg menuju Pemilu 2019. Pertama, untuk menjadi caleg yang berpengaruh jangan pernah menunda waktu untuk melakukan investasi sosial.
Bagaimana jika terlambat, maka menunda waktu investasi sosial berarti semakin menutup peluang memiliki sahabat-sahabat sejati yang akan berproses menjadi jembatan-jembatan meraih buliran rezekinya.
Kedua, sebagai caleg usaha apapun yang dilakukan keberhasilannya berkaitan dengan tingkat kemampuan mempengaruhi orang lain. Jadi segera maksimalkan waktu untuk mendapatkan pengaruh di tengah masyarakatnya. Untuk mendapatkan pengaruh di tengah masyarakat, kata kuncinya hanya satu tidak lebih dan tidak kurang, yaitu segera menjadi pelayan kemanusiaan.
Dengan ikhlas melayani umat, itu berarti bagi yang jauh hari sudah melakukannya maka tinggal membuka tong tabungan suara dan in sya Allah akan sukses- berhasil menuju Pemilu 2019. Semoga di antara kitalah yang tercatat sebagai sang pemenang, amin.***