Kejahatan Kehutanan, Korporasi juga Harus Ditindak

Riau | Selasa, 24 Desember 2013 - 09:02 WIB

PEKANBARU (RP) — Dalam kerusakan terhadap hutan yang terjadi, korporasi dinilai juga bertanggung jawab.

Sementara di Riau, kasus kejahatan terhadap sumber daya alam yang mendudukkan korporasi sebagai pihak yang bertanggung jawab belum tuntas.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Hal ini tergambar dari diskusi yang digelar USAID dan WWF di Hotel Pangeran, Senin (23/12) dengan tema ‘’Menelisik Kejahatan Korporasi Sektor Sumber Daya Alam (SDA) di Bumi Lancang Kuning’’.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini, Metta Dharmasaputra mantan wartawan Tempo, penguak kasus penggelapan pajak, Andreas Harsono, wartawan Pantau, dan Setri Yasra, Redaktur Utama Tempo, serta jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Riyono.

‘’Di dalam investigasi, masih banyak yang baik dalam yang hitam. Semua investigasi berhasil karena bantuan orang dalam birokrasi,’’ ujar Metta menuturkan pengalaman melakukan liputan investigasi.

Ia melanjutkan, dalam dunia kejahatan kerah putih, yang harus harus difokuskan adalah aksi korporasi dan pengusaha hitam.

‘’Dahulu saat investigasi minyak Zatapi, kita sampai lima tahun mencari data yang solid. Sampai kita dipanggil oleh Bambang Hendarso Danuri untuk memaparkan modus, yang katanya mau ditangkap, namun sampai sekarang pelaku masih berjaya,’’ tuturnya.

Sementara itu, Setri Yasa menyoroti surat perintah penghentian penyidikan (SP3) 14 perusahaan kayu yang sampai saat ini tidak jelas kapan akan dibuka kembali.

‘’KPK berhasil membuktikan terjadi dalam pemberian izin kehutanan yang dilakukan kepala daerah dan kepala dinas di Riau. Satuan tugas pemberantasan mafia hukum menemukan kejanggalan dalam penerbitan SP3 14 perusahaan kehutanan,’’ ujarnya.

Ia melanjutkan, gencarnya lobi tingkat tinggi yang dilakukan pemilik industri kehutanan ditenggarai berhasil mempengaruhi para pengambil kebijakan keputusan di Jakarta.

‘’Promosi yang diterima Sutjiptadi dengan naik pangkat menjadi inspektorat jenderal sulit menghindari dugaan bahwa dia sengaja ‘dibuang ke atas’. Selain itu, tidak kunjung dinyatakan lengkap berkas para tersangka 14 perusahaan mengindikasikan operasi penyelamatan dilakukan secara sistematis di semua lini aparat penegak hukum,’’ paparnya.

Terkait kasus SDA terutama kehutanan di Riau, jaksa KPK Riyono memberikan pandangannya.

‘’Ketika masalah kehutanan di Riau pada 2005-2006 terjadi, kemudian di SP3 karena perusahaan ini sudah memiliki izin pengelolaan,’’ tuturnya.

Ia memaparkan, ketika masalah IUPHHKHT ditangani KPK sesuai UU 44/1999, para pelaku tidak bisa dijerat dengan tindak pidana kehutanan.

‘’Permasalahannya adalah sekarng, bagaimana kita mengamankan hutan yang masih ada. Ketika kita kaji, yang menjadi masalah adalah bagaimana keluarnya izin tersebut,’’ lanjutnya.

Yang terjadi, kata Riyono adalah proses keluarnya izin tidak sesuai ketentuan.

‘’Lalu bagaimana penghitungan kerugian negara, kayu per harga saat itu. Dalam perkaran tipikor atas nama Azmun Jaafar, kerugiannya Rp1,2 triliun. Kita tetapkan uang pengganti sesuai yang didapat,’’ ucapnya.(ali)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook