JAKARTA (RP) - Jumlah hot spot (titik api/panas) di Riau kembali mengalami kenaikan. Berdasarkan data satelit NOAA yang diterima Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, pada 21 Juli terpantau 173 hot spot dati total 261 titik di Sumatera.
Hot spot tersebut terpantau di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) 69 titik, Bengkalis 41 titik, Rokan Hulu (Rohul) 9 titik, Siak 20 titik, Kota Dumai 12 titik dan di Kampar, Pelalawan, Kepulauan Meranti masing-masing 1 titik.
Bahkan, kondisi kabut yang bercampur dengan asap sempat mengganggu penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Senin (22/7).
Pihak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru menyebutkan, yang mengganggu udara Pekanbaru itu adalah fog dengan campuran kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
‘’Jadi untuk jarak pandang (visibility) yang mengganggu pemandangan itu dimulai pukul 06.00 WIB sampai munculnya matahari baru hilang,’’ kata Kepala BMKG, Ferry Sitorus melalui staf analisa Tri Puryanti saat dikonfirmasi Riau Pos.
Dijelaskannya, bahwa fog itu sama dengan kabut, merupakan awan yang berada di permukaan tanah yang mengandung jutaan butiran-butiran air yang sangat kecil.
Fog terdiri dari titik air, namun pada kondisi tertentu dapat disertai kristal es.
Sementara menurut Airport Duty Manager PT Angkasa Pura II Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II, Hasnan mengatakan, kondisi fog ini mengganggu jadwal penerbangan pagi, karena memang jarak pandangnya cukup membahayakan yakni kurang dari 500 meter.
‘’Pagi hari itu jarak pandang sangat terbatas. Dua penerbangan pagi dari Pekanbaru, Garuda Indonesia dan Lion Air delay. Artinya keberangkatan dan kedatangan di bawah jam 9 delay,’’ ungkapnya.
Kondisi ini membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau tetap dalam posisi siaga asap pascabencana asap dapat ditanggulangi bulan lalu.
Sebab, kondisi cuaca di Riau hingga Agustus mendatang masih dalam keadaan panas terik. Bahkan, jika suhu di atas 34 derajat dan hot spot terpantau akan langsung disiram dengan bom air.
Wakil Gubernur Riau (Wagubri) HR Mambang Mit juga mengatakan, kabut asap yang sempat muncul kemarin pagi di Pekanbaru merupakan fog bukan kabut asap.
‘’Dari keterangan Danlanud, kondisi cuaca belum terpantau asap. Yang terlihat tadi (kemarin, red) itu fog,’’ kata Mambang.
Namun, Pemprov bersama tim terkait tetap melakukan penanganan untuk meminimalisir hot spot yang terpantau. Salah satunya dengan disiagakannya helikopter Bolco dari BNPB untuk melakukan pengeboman air.
‘’Water Bombing (bom air) tetap dilakukan, mudah-mudahan tidak sampai terjadi asap,’’ sambungnya.
Disinggung mengenai kondisi Dumai, Mambang menambahkan, yang terpantau dari laporan Pemko setempat juga bukan asap, namun fog karena kondisi cuaca yang dingin pada hari sebelumnya.
Sehingga kabut muncul pagi hari dan hilang pada siang harinya. Namun pihak BNPB mengatakan kabut asap kembali menyelimuti Riau.
‘’Kabut asap kembali menyelimuti Riau. Sehingga menurunkan jarak pandang di Riau,’’ kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, Senin (22/7) sore.
Sebagai gambaran, kemarin pagi, jarak pandang di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru hanya 70 meter dan di Bandara Pinang Kampai Kota Dumai 800 meter.
Hal ini menyebabkan gangguan kedatangan dan keberangkatan pesawat dari dan ke Pekanbaru.
Selain itu, kualitas udara juga mulai menurun. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau melaporkan, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang diukur sekitar pukul 08.00 WIB di beberapa kota seperti di Pekanbaru tempatnya di Rumbai 619 PSI, Minas 247 PSI, Duri Camp 164 PSi, dan Duri Field 292 PSI.
‘’Ini artinya sudah tidak sehat. Bahkan ISPU di Malaysia juga mengalami kenaikan,’’ terangnya.
Untuk mengantisipasi bencana asap tersebut, BNPB telah mengkoordinasikan potensi nasional untuk memberikan pendampingan kepada Pemprov Riau.
Saat ini disiapkan 2 pesawat Hercules C-130 dan 4 pesawat Casa untuk operasi teknologi modifikasi cuaca atau hujan buatan.
Operasi water bombing terus dilaksanakan dengan 3 helikopter Bolco BNPB dan 1 helikopter Sikorsky yang mampu mengangkut air 4.500 liter untuk dijatuhkan di titik api.
Peralatan dan personil untuk TNI juga disiagakan untuk dikerahkan jika kondisi membutuhkan.
Dijelaskan Sutopo, puncak kebakaran lahan dan hutan adalah pada bulan Agustus hingga Oktober, baik di Sumatera dan Kalimantan.
Adapun 99 persen kebakaran terjadi akibat dibakar. ‘’Kunci utama antisipasi bencana asap adalah implementasi peraturan-peraturan terkait dengan pencegahan kebakaran lahan dan hutan,’’ jelasnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, peran Pemerintah Daerah (Pemda), Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) harus di depan dalam antisipasi tersebut.((fat/yud/egp/gus)