TERSERAH Anda menilai sejauh mana keseriusan pesan pendek kawan saya Abdul Wahab mengenai ganti presiden melalui telepon genggamnya Sabtu semalam. Tak tehampang-hampang memang, bukan soal kecil-kecil. Soal puncak dari suatu ranah politik dalam hidup bernegara. “Matan ni? Serius ni, nak ganti presiden?” tanya Wahab.
Mendapat pertanyaan seperti itu, pertama-tama saya teringat dengan tagar yang memang ramai dalam pekan-pekan terakhir ini, #2019GantiPresiden. Tak hanya di media sosial, ungkapan tersebut berselerak di media konvensional lainnya seperti kaos. Malahan, sempat beredar gambar Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjabadi sebagai presiden, mengenakan pakaian bermerek demikian.
Macam-macam pula tanggapan yang muncul dari kode alam maya tersebut. Ada yang mengonyol-ngonyolkan diri, misalnya dengan mengatakan, mana mungkin kaos menggantikan presiden.
Tak kurang dari seorang cendekiawan yang jadi buah bibir baru dalam khazanah akal akhir-akhir ini, Rocky Gerung, memparalelkan ungkapan itu sebagai penciptaan ketakutan untuk bertahan. Bahkan untuk menumbangkan sumber ciptaan itu sendiri.
Orang-orang dulu misalnya, menanamkan ketakutan pada harimau. Dengan demikian, mereka keluar untuk berburu. Bukan sebaliknya, menyembunyikan diri dalam gelimang sumber ketakutan tersebut. Maka kata Rocky, takut kepada tagar ganti presiden itu adalah suatu bentuk kebebalan yang nyata.
Entahlah, tampaknya tak ada yang terlihat takut—mungkin Rocky saja agaknya. Cuma pasti, tagar ganti presiden itu, memang jelas kalimat politik praktis yang tidak terlepas dari usaha merebut kekuasaan. Pasalnya, sebagaimana banyak tersiar khabar, bukankah ia diciptakan seorang politikus—petinggi dari suatu partai yang berbeda dengan partai pemegang kekuasaan sekarang.
Ya, Mardani Ali Sera dari PKS. Sosok ini pula yang didengung-dengungkan partainya sebagai salah seorang calon wakil presiden pada pemilihan presiden 2019 mendatang. Jelas, tak ada bayang-bayang PKS akan merapat ke Jokowi yang kini menjabadi sebagai presiden dan dapat dipastikan kembali maju untuk dipilih menduduki jabatan tersebut pada 2019.
Di tengah gemuruh tingginya tingkat keterpilihan Jokowi, arus menentangnya dalam Pemilu juga tak surut. Gerindra jelas sudah memiliki calon tersendiri, sebagaimana dilansir pekan lalu dengan mengusung nama Prabowo Subianto. Nama-nama lain juga tak kalah serunya dari berbagai kalangan, malahan dari daerah, ketika nama Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi, muncul ke tengah bursa jabatan presiden dan menyatakan siap untuk hal tersebut.
“Kalau ganti presiden, kita mau pakai apa?” tanya Wahab. Ia kemudian menyatakan, sistem politik dengan presiden sebagai julang-julangan memang sudah 73 tahun dipakai Indonesia, sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sempat juga menggunakan parlementer, sistem prsidensial-lah yang memiliki tapak kuat dalam pemerintahan.
Ia kemudian melanjutkan, sebelumnya, berabad-abad bangsa ini mengenal monarki, bahkan kepemimpinan adat. ‘’Di tempat kita ini saja, sejak awal sampai 1945, tak kurang pernah berdiri negara dengan sistem monarki yang malah lebih besar dari Indonesia ni, misalnya Sriwijaya. Kalau ganti presiden, kita nak pakai sultan, raja, atau apa? Wah seru ni.”
Sedikit memukul jidat juga saya saat membaca pesan pendek Wahab itu. Cuma tentu saja ia tidak salah, jika teks tersebut dibaca secara mentah saja, tanpa mempertimbangkan sisi lain, misalnya apa yang disebut ekstrinsik, bahkan kecenderungan dalam kebahasaan. Hal terakhir itu misalnya, bukankah dapat dikesani bagaimana tagar #2019GantiPresiden, mengalami penghilangan satu kata “pejabat” tanpa menghilangkan tujuan maksud pelontar kalimat itu sebenarnya.
“Jadi yang mau diganti tu, bukan kelembagaannya. Tetapi pejabatnya, yakni orang yang menjabat presiden itu,” pesan saya kepada Wahab tanpa bermaksud menjelaskan. Ya, saya tidak bermaksud menjelaskan karena saya pikir Wahab tahu makna tagar itu sebenarnya, tetapi pura-pura tak tahu.
Cuma saya pun tak dapat memastikan apakah ia memang pura-pura tak tahu atau sebaliknya karena sampai sekarang ia belum menanggapi pesan saya yang terakhir itu. Maka sampai saat ini terserah saya kan untuk memaknai maksud Wahab, apakah bercanda atau apa...***