MALAH, pertanyaannya adalah; Normalkah kita? Seakan sebuah frasa baru. Kata normal itu sejatinya telah diserap sekian lama menjadi bahasa Indonesia (Melayu). Tapi ketika disisip dengan kata “baru” di belakangnya, serasa sesuatu yang asing dari “rasa bahasa” saat ini. Apakah “Normal Baru” itu identik dengan “Baru Normal”? Tetap saja, ada rasa yang mengganjal dari arti dan pengertian itu. Maka, masuk tahap berikutnya dengan cara menukangi atau mempreteli atau mencencang-cencang (bukan dimaksudkan mutilasi) kata itu dan menggiringnya menjadi kata sifat; “Kenormalan Baru”. Belum puas sampai di situ, diselip lagi “rasa transisional” dengan pilihan kata dan frasa menjadi: “Adaptasi Kebiasaan Baru”. Waduuuh menjadi serba panjang dan berpanjang-panjang, dari dua kata menjadi dua kata yang lebih panjang (Kenormalan(; disambut dan sauk lagi dengan tiga kata yang lebih panjang yang meninggalkan akar kata (normal itu sendiri) menjadi Adaptasi Kebiasaan.
Lalu, apanya yang baru. Orang boleh berandai bahwa kehidupan “Old Normal” diisi dengan kerja keras, maka ketika masuk pada “New Normal”, harus diisi dengan kerja cerdas. Rupanya, kerja keras manusia yang telah berlangsung berabad-abad bahkan beralaf (milenium) itu berujung petaka (keras menjadi kekerasan); baik terhadap lingkungan, terhadap peradaban dan kebudayaan, maupun (terutama) terhadap dirinya sendiri. Untuk itu, manusia tak cukup hanya mengandalkan kerja keras (hard work) sebagai elan vital untuk bertahan (survive) demi membangun kebudayaan dan peradaban. Peradaban dan kebudayaan juga harus diiringi dengan sejenis kerja terpilih, kerja yang menggaungkan “sebatas mampu”, melaungkan bahwa berjarak adalah seni dari kehidupan sosial yang seksi di tengah modernisasi yang mengedepankan kehidupan yang harus berdekat-dekatan, bersalaman, bersentuhan dan berpelukan. Kecerdasan manusia, tak harus diekspresikan lewa peluk, jabat, dekap dan tepuk. Kecerdasan manusia, bisa diapresiasi secara layak dan jernih; lewat apresiasi secukupnya, tidak lewat pujian yang berlebihan dan melewat-lewat (lewat batas kewajaran); lewat webinar, daring, copy darat sekaligus debat yang konstruktif (tukar fikiran); bertengkar dan berteking mengumbarkan kerasnya urat leher. Keras dan kekerasan itu tak lain demi mengumbar kebencian kepada pihak di seberang kita. Kita kalah dalam memanfaat momentum panggung kekinian, lalu kita berlari menjemput panggung masa lalu dan kita polesi sedikit dengan cat ala kadarnya; lalu kita berteriak inilah panggung masa kini!
“New Normal”, otomatis berseberangan kaidah dengan “Old Normal”, itu sudah pasti dan sebuah keniscayaan. Jika tak siap dengan perseberangan kaidah itu, maka kita tak bisa dikatakan sebagai makhluk yang adaptif dan akseleratif mengikuti rempat dan irama sunatullah (hukum alam/ natural law). Tadi, kita membicarakan tentang peretelan kata dan bunyi ketika New Normal diterjemah mentah-mentah ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Normal Baru”. Kata ini seakan bisa dibolak balik di negeri yang terbirahi membolak-balik kata dan kalimat atau pun frasa senhingga dia menjadi gerakan nasional secara masif. Dan ini dilakukan sejak zaman Soeharto (Orde Baru); “Memasyarakatkan Olahraga, Mengolahragakan Masyakat”. Dan masih banyak frasa-frasa sejenis ini yang dibolak-balik sehingga dia memberi kesan repetitif sekaligus superlatif. Hal yang sama, bisa terjadi pada frasa “Normal Baru”, lalu dibalikkan menjadi “Baru Normal”. Maka saya lanjutkan dengan sebuah pertanyaan ikutannya: “Normalkah Kita”? Mungkin “Old Normal” dipenuhi dengan serangkaian tindakan berbasis “dogma(tis)”; namun pada masa “New Normal”, manusia harus bertindak berbasis “taktis” dalam penggalam masa yang pendek-pendek, sehingga tak melahap ekosistem hidup yang lebih besar dan gigantis.
Sehari-hari dalam semua sisi kehidupan kita melagak-lagakkan Revolusi Industri 4.0; kuliah 4.0; ekonomi 4.0; pacaran 4.0; puisi dan bersastra 4.0; spiritualitas 4.0; dakwah 4.0. Ha...ha... hahaha,... inilah masa yang paling tepat dan mustari memetik kaidah 4.0 itu dalam segenap dan sgempita kehidupan. New Normal itulah yang menggesa dan mendesak kita untuk memetik sari pati nan ranum dari revolusi industri 4.0 itu; rempak dan rima kehidupan yang diatur dan distel berdasarkan kekuatan digital dan serba online (daring). Inilah makna hijrah sesungguhnya yang digesa dan didesak oleh pandemik Covid-19 yang semacam “sengaja” dihadirkan menjadi katalis (daya ungkit segera) untuk kita melentingkan kehidupan serba online dan mengurangi gerakan yang teramat dominan di muka bumi; sehingga tak memberi ruang dan kesempatan makhluk lain untuk melayap, merayap, melata sesuai dengan tabiat dasar penciptaan mereka masing-masing. Terbukti, setelah hampir 6 bulan pandemik berlangsung, kita yang memiliki kemampuan adaptif itu tetap menjalani kehidupan dengan penuh cermat dan waspada. Menjaga kesehatan tubuh, sajian gizi yang berimbang, kebugaran tubuh lewat olahraga sekena dan secukupnya.
Inilah momentum yang paling pas dan gorgeous untuk melaksanakan kehidupan serba cerdas itu. Ekonomi bergerak tidak harus dalam tatap muka, ekonomi berderap lewat jasa pengiriman dan penghantaran yang jitu dan jujur. Kita menjadi masayarakat pembelajar sekaligus masayarakt jujur dalam laku dan tindak. Tidak ada lagi sistem tawar menawar belanjaan secara tatap muka, yang amat melelahkan secara psikologis. Pasar-pasar kita penuh permainan kata, orang harus bersilat lidah untuk menawar satu item belanjaan. Bagi mereka yang tak biasa bersilat lidah dan berpura-pura ramah, bakal menjadi mangsa dan korban sistem pasar yang memaksakan orang harus ramah (padahal, inti patinya adalah tiadanya kejujuran dalam berniaga).
Ekonomi harus tumbuh, pergerakan manusia harus dilakukan dengan seribu alasan; demi silatirahmi, demi investasi dan kerjasama antar bangsa. Menjaga perserikatan hati di antara sesama umat manusia dan ragam kerjasama antara negara (tak hitam, tak putih, tak kuning, tak beragama, beragama, zindig, murtad, mualaf, kafir, paling suci); semua kita adalah manusia yang berstatus sebagai migran sementara yang diberi rumah tumpangan bernama pertiwi bumi (ya, planet bumi). Enyahlah segala kesombongan egosentris. Belajarlah kita membusungkan dada serba altruis; berbagi dan bersedia berbagi dengan siapa pun, bangsa apa pun dan latar belakang kepercayaan dan agama apa pun. Wah... bumi, sebuah tanah pukau (the wonderland).***