HUTAN ULAYAT PANGKALAN INDARUNG, SINGINGI, TERANCAM PUNAH (1)

Lebih 400 Hektare Dibabat Pemilik Modal

Riau | Kamis, 20 Juni 2013 - 09:35 WIB

 Lebih 400 Hektare Dibabat Pemilik Modal
TINJAU HUTAN: Tim dari Pemkab Kuansing, Upika Kecamatan Singingi, dan Polres Kuansing melihat kawasan hutan yang berstatus HPT namun telah dibabat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab di Desa Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi, Selasa (18/6/2013). foto: juprison/riau pos

Laporan JUPRISON,  Kuantan Singingi  juprison@riaupos.co

Sejak dahulu, masyarakat adat di Desa Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi berpegang teguh dengan adat-istiadat yang dianut.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Mereka mengenal hutan ulayat yang harus dijaga dan dirawat untuk anak cucu kemenakan. Sekarang, hutan ulayat milik mereka itu di tengah ancaman kepunahan.

Ada sekitar 400 hektare hutan ulayat milik masyarakat Desa Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, terutama di wilayah yang berbatasan dengan Desa Sumpu dan Desa Tanjung Medang, Kecamatan Hulu Kuantan yang telah dirusak yang diduga dilakukan oleh salah seorang pengusaha asal Pekanbaru.

Untuk menjangkau lokasi itu, diperlukan waktu empat jam perjalanan dengan menggunakan mobil double gardan, karena medan yang sangat berat dan menantang.

Dari pantauan Riau Pos, Selasa (18/6), hutan yang luasnya mencapai ribuan hektare itu sekarang sudah menjadi kebun yang luas, yang dimiliki para pemodal, terutama pihak asing yang bukan orang yang berhak akan hutan tersebut secara adat.

Padahal hutan ini merupakan kekayaan alam yang diterima masyarakat Pangkalan Indarung secara turun-temurun sejak dahulu kala.

Riau Pos yang turut serta melihat dari dekat kondisi hutan ulayat masyarakat Pangkalan Indarung itu, benar-benar kaget melihat kondisi hutan yang sudah menjadi kebun. Bahkan hutan belantara yang masih tersisa juga tengah dibabat oleh pihak luar yang merupakan pemodal.

Di samping hutan merupakan hak ulayat dari masyarakat adat setempat, hutan yang luasnya berkisar antara 9.000 hingga 12.000 hektare ini berstatus sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).

Dan kalau ingin dimanfaatkan, tentu harus ada pelepasan status. Jika tidak, tentu ada konsekuensi hukum.

Untuk melihat dari dekat kondisi hutan tersebut, Riau Pos hadir bersama tim yang terdiri dari Camat Singingi beserta Upika, Dinas Kehutanan, Kepala Desa Pangkalan Indarung dan ninik mamak. Saat berada di lokasi memang sudah terjadi kegiatan stecking atau pembuatan patok sebagai penunjuk lokasi lahan yang akan ditebang dan sebagian lahan juga terlihat sudah ditebang dan siap ditanami.

Tidak hanya itu, Asen yang merupakan pemodal untuk mengelolah hutan ini juga membangun barak untuk pekerjanya yang ada di lapangan. Setidaknya ada empat unit rumah yang ada di kompleks barak yang telah didirikan tersebut.

Di depan barak juga terlihat ribuan bibit sawit yang masih kecil dan siap tanam. Jalan untuk memuluskan aksi mereka membabat hutan juga sudah dibuat di lapangan. Disinyalir, selain membuka kebun mereka mengambil kayu untuk dijual (illegal logging)

Sejumlah pekerja juga berhasil ditemui saat itu, masing-masing koordinator pekerja Buyung Kenek, Rijal Sarosah (pelangsir logistik), Darminto dan Joni Naupri.

Pada kesempatan itu, Buyung Kenek kepada tim mengakui, kalau areal yang mereka kerjakan ini adalah dibiayai oleh Asen. Dan mereka tidak tahu status kawasannya itu hutan ulayat atau tidak, karena dirinya hanya terikat kontrak membuka lahan.

Buyung Kenek juga mengakui, ia dan rekan-rekannya sudah bekerja di lokasi tersebut selama lebih kurang 6 bulan.

‘’Kami hanya mengerjakan kebun milik Pak Asen warga Pekanbaru, Pak, dan kami di sini digaji. Jadi, kami tidak tahu sama sekali statusnya (lahan, red),’’ ujarnya sambil memberi nomor handphone Asen kepada tim saat itu.

Saat itu juga, Ninik Mamak Pangkalan Indarung, Ilut yang bergelar Datuak Sinyato dari Suku Petopang memberitahu kepada Buyung Kenek dan rekan-rekannya, bahwa lahan garapan yang dikerjakan merupakan hutan ulayat. Dan ia menilai, Asen telah melanggar hukum adat. “Jangankan orang luar, orang Pangkalan Indarung sendiri tidak diperkenankan untuk menggarapnya tanpa mufakat adat,” jelasnya.

‘’Tolong ini diperhatikan, dan sekarang kami memberi waktu kepada bapak-bapak untuk berhenti beraktivitas dan meninggalkan lokasi hutan adat Pangkalan Indarung ini sampai Sabtu (22/6), karena bapak-bapak harus ingat dan camkan, kalau masih tetap bekerja dan di sini, dengan cara apapun kami akan mempertahankan hutan adat ini,’’ ujarnya tegas.(bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook